Tangkuban Parahu, Lembang, Mevin.ID – Di tengah kabut yang menggantung pelan dan gemuruh kawah yang seolah menahan amarahnya, sekitar 2.000 jiwa dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul dalam satu semangat: memuliakan bumi yang semakin sesak oleh kerakusan.
Upacara adat Sunda Nusantara Sabuana bertajuk Ngertakeun Bumi Lamba (Menghaturkan Bumi yang Luas) yang digelar Minggu (22/6) di kawasan Mandala Jayagiri, Gunung Tangkuban Parahu, menjadi ruang spiritual kolektif untuk mengingat: tanah ini hidup, dan leluhur belum mati.
Di sini, suara doa bersahut dari berbagai bahasa—Sunda, Bali, Minahasa, Dayak, hingga Baduy—seperti alunan mantra yang menyulam ulang benang yang putus antara manusia dan alam semesta.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita memang diciptakan berbeda, tapi jangan karena perbedaan kita bermusuhan. Karena perbedaanlah kita indah, kita satu: Bhineka Tunggal Ika.”
— Panglima Jilah, Pemimpin Pasukan Merah Dayak Kalimantan
Ritual yang Lebih dari Sekadar Tradisi
Rangkaian ritual dimulai dengan Ngaremokeun, proses spiritual untuk menetralisir energi negatif. Para tetua adat dari Baduy, Dayak, dan Minahasa memimpin prosesi ini dengan penuh khidmat, menyatu dalam napas hutan Jayagiri yang rimbun dan tua.
Menuju puncak acara, sesaji—simbol harapan dan permohonan—diarak ke Kawah Ratu dalam prosesi Ngararung. Di tepi kawah yang lengang namun rawan, para tetua menggantungkan doa kepada bumi, seolah memohon agar luka-luka akibat ulah manusia tak lagi memicu amarah alam.
Yang menjadikan tahun ini terasa lebih sakral adalah meningkatnya aktivitas kawah Tangkuban Parahu. Seperti memberi pesan lirih: bumi tak diam.
“Kami dari Indonesia Timur—tanah yang dirusak tambang tapi tak dikembalikan—tidak bisa lagi diam. Inilah waktunya adat dan alam bersatu melawan keserakahan.”
— Panglima Andy Rompas, Minahasa
Laku Budaya, Bukan Sekadar Atraksi
Radite Wiranatakusumah, ketua panitia acara, menegaskan bahwa Ngertakeun Bumi Lamba bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan warisan hidup kearifan lokal Sunda untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
“Doa-doa yang dihaturkan hari ini bukan hanya untuk keselamatan, tapi juga untuk menyebarkan kesadaran—terutama kepada generasi muda—bahwa kita punya tanggung jawab menjaga bumi seperti yang ditunjukkan para leluhur,” ujarnya.
Graha Kaban, pengelola Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu, menambahkan bahwa upacara ini menjadi contoh harmonisasi antara pelestarian budaya dan konservasi alam. “Wisatawan yang hadir hari ini tidak hanya pulang dengan foto, tapi juga dengan kesadaran spiritual bahwa tanah ini punya jiwa,” katanya.
Menemukan Sunyi di Tengah Dunia yang Berisik
Di era ketika suara mesin lebih nyaring dari suara pohon, dan layar gawai lebih menyita daripada gemerisik daun, upacara Ngertakeun Bumi Lamba mengajak kita untuk sejenak diam dan mendengarkan: suara kabut yang turun pelan, doa yang mengalun di antara pepohonan, dan bisikan leluhur yang menunggu kita untuk kembali bersujud pada bumi.
Di Gunung Tangkuban Parahu, bukan hanya tradisi yang dirayakan. Tapi juga, harapan. Harapan agar kita semua, manusia modern yang sering lupa daratan, kembali mengingat rumah sesungguhnya: bumi.***
Penulis : Bar Bernad