“Sing Rukun Atuh, Kami Butuh Kepastian, Bukan Pertunjukan”
ANGIN sore menyapu pelataran warung kopi di ujung gang sempit kawasan Cimahi Selatan. Tiga pria paruh baya duduk melingkar di kursi plastik yang sudah pudar warnanya. Dadan (41), mantan buruh garmen; Iwan (38), pengemudi ojek daring; dan Soleh (45), mantan pemilik toko kelontong yang kini berjualan gorengan.
Mereka bukan pengamat politik. Tak punya latar belakang organisasi, dan bukan pula buzzer partai. Tapi mereka bicara tentang sesuatu yang sedang ramai—perseteruan terbuka antara Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan dan Sekretaris Daerah Herman Suryatman.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Eta Sekda jeung Wagub téh ayeuna keur perang sindiran, padahal rakyat mah keur perang jeung perut kosong,” celetuk Dadan sambil mengaduk kopinya.
Ketika Sindiran Elite Tayang di TikTok
Mereka bertiga tak mengikuti politik secara rutin. Nama-nama pejabat pun tak selalu mereka ingat. Tapi kali ini, obrolan politik datang sendiri ke gawai mereka.
Potongan video sindiran Wakil Gubernur kepada Sekda saat sidang paripurna DPRD viral di media sosial. Terunggah di TikTok, Instagram, hingga grup WhatsApp RT.
“Eta nu sidang di gedung DPRD, ngomong siga urang keur sindir sampir jiga pos ronda. Saeutik-saeutik disindir di hareupeun umum. Naha teu bisa dikomunikasikeun di jero weh?” kata Dadan, heran.
Dalam video itu, Erwan mengeluhkan ketidakhadiran Sekda Herman dalam berbagai agenda penting, termasuk sidang pertanggungjawaban APBD 2024. “Ka mana wae Sekda?” ucap Erwan lantang.
Tak lama berselang, Sekda Herman membalas lewat unggahan video berbahasa Sunda, menjelaskan bahwa ia tengah bertugas mendampingi Menko PMK meninjau lokasi bencana tanah bergerak di Purwakarta.
Bagi Dadan dan kawan-kawan, ini bukan sekadar “baku sindir”, tapi cermin dari sesuatu yang retak di dalam.
Padahal, rakyat menaruh harapan besar pada duet kepemimpinan baru Jabar yang belum genap berjalan 100 hari.
“Kami mah teu ngarti teknis-teknis na, nu penting mah sing rukun. Urang kabéh hayang aya perbaikan. Naha kudu ribut di hareupeun rakyat?” timpal Iwan sambil menyulut rokok.
Ekonomi Lesu, Harapan Terbatas
Soleh hanya mengangguk. Ia lebih pendiam. Sejak tokonya gulung tikar awal tahun ini, ia berjualan gorengan di depan rumah.
Harapannya sederhana: bantuan modal usaha dari program pemerintah provinsi yang katanya “sedang disusun”.
“Tapi lamun nu di luhur mah rebutan sorotan, urang mah kalah teu kabagian perhatian,” katanya lirih.
Ia masih menunggu kabar pencairan bantuan yang dijanjikan oleh kelurahan. Tapi sudah berminggu-minggu, belum ada kejelasan. “Masih di provinsi, Pak,” kata staf kelurahan. Tapi provinsinya sendiri sedang sibuk dengan drama internal.
Di tengah ekonomi yang melambat, angka PHK yang meningkat, dan daya beli masyarakat yang terus tergerus, rakyat kecil seperti mereka hanya bisa berharap: jangan sampai perpecahan di level atas menambah keruwetan di bawah.
“Sing rukun atuh. Ulah saling nuding. Urang mah butuh kepastian, bukan pertunjukan,” ucap Iwan mantap.
Rakyat Tak Butuh Panggung, Tapi Solusi
Obrolan warung itu berakhir ketika langit mulai gelap. Tak ada keputusan, tak ada kesimpulan. Hanya kejujuran yang dibiarkan menggantung di udara.
Di luar sana, mungkin elite politik sedang menyusun narasi, saling klarifikasi, atau bahkan merancang strategi komunikasi. Tapi di meja reyot itu, tiga warga Jawa Barat hanya ingin satu hal: pemerintah bekerja dengan hati yang satu, bukan suara yang saling bersilang.
Karena bagi mereka, rukun di atas berarti tertatanya hidup di bawah.***
*Dialog Imaginer Warga Jabar
Baca Juga :
- Sindir Sekda Tak Pernah Hadir, Wagub Jabar Sentil Herman Suryatman dalam Paripurna DPRD
- Sekda Jabar Jawab Sindiran Wagub: “Saya Bertugas Dampingi Menko PMK Tangani Bencana”
Penulis : Bar Bernad