PERNYATAAN Kepala Satgas Korsup KPK Wilayah V, Dian Patria, adalah sebuah penyingkapan pahit yang sudah lama kita dengar, namun jarang kita hadapi secara kolektif: “Biasanya daerah-daerah yang kaya tambang justru penduduknya paling miskin.”
Kalimat ini bukan sekadar data statistik; ini adalah potret tragis dari sebuah kegagalan struktural yang kita sebut sebagai “Kutukan Sumber Daya Alam” (Resource Curse).
Fenomena ini adalah paradoks moral yang menjerit: kekayaan yang seharusnya menjadi berkah, berbalik menjadi bencana yang memiskinkan.
Bagaimana mungkin tanah yang mengandung emas, nikel, atau batubara melimpah ruah, gagal menyejahterakan anak-cucu pemilik tanah itu sendiri?
Jejak Kegagalan Pembangunan
Inti dari masalah ini sangat sederhana, namun dampaknya menghancurkan. Penduduk asli di sekitar lokasi tambang—para petani dan nelayan—hidupnya terikat erat pada kualitas lingkungan: tanah yang subur, air yang jernih, dan laut yang lestari.
Begitu industri ekstraktif masuk, janji kemakmuran datang bersamaan dengan degradasi lingkungan yang tak terhindarkan. Tanah diambil, warna laut berubah, dan risiko kontaminasi sianida atau merkuri membayangi.
Inilah yang terjadi: Pertama, mata pencaharian tradisional dihancurkan: Lahan pertanian dan perairan rusak, membuat petani dan nelayan kehilangan satu-satunya sumber penghidupan mereka.
Kedua, pekerjaan baru tidak tersedia: Pekerja tambang yang memiliki keterampilan khusus justru didatangkan dari luar provinsi, bahkan dari luar negeri.
Dan yang Ketiga, Penduduk lokal menjadi terasing di tanahnya sendiri: Mereka miskin di tengah tumpukan kekayaan.
Ini bukan sekadar masalah kemiskinan; ini adalah masalah ketidakadilan agraria dan struktural. Rakyat lokal, yang seharusnya menjadi penerima manfaat pertama, justru menjadi korban utama dari industrialisasi ekstraktif yang rakus.
Suara yang Hilang di Tengah Bising Ekskavator
Pernyataan KPK menyoroti satu poin krusial: isu lingkungan seringkali dikesampingkan. Dalam kejar-kejaran untuk mendapatkan izin atau mencabutnya, kewajiban lingkungan oleh perusahaan seringkali ikut “hilang”.
Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pemulihan lingkungan pasca-tambang.
Di Morosi, Sulawesi, yang menjadi pusat pertambangan, data BPS menunjukkan ironi kemiskinan yang mendalam. Daerah kaya raya menjadi etalase kegagalan pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Keuntungan besar dikirim ke korporasi dan pemegang modal, sementara residu beracun dan kemiskinan abadi ditinggalkan untuk masyarakat lokal.
Mencari Jalan Keluar dari Kutukan
Kita tidak bisa lagi menerima narasi bahwa tambang adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan. Opini ini harus menuntut perubahan mendasar:
1. Prioritas Lingkungan:
Kewajiban pemulihan lingkungan harus menjadi syarat mutlak yang tidak bisa dinegosiasikan, bahkan jika izin dicabut.
Hukuman yang berat harus dikenakan pada korporasi yang meninggalkan “lubang dosa” dan limbah beracun.
2. Afirmasi Ekonomi Lokal:
Pemerintah daerah dan pusat harus memastikan adanya kebijakan afirmasi yang memaksa perusahaan tambang untuk memberdayakan dan mempekerjakan penduduk lokal, serta mengembangkan sektor ekonomi non-ekstraktif.
3. Transparansi dan Partisipasi:
Rakyat lokal harus memiliki suara yang kuat dan transparan dalam setiap keputusan izin tambang, bukan hanya menjadi penonton yang pasif.
***
Kisah Morosi, dan banyak daerah kaya tambang lainnya, adalah peringatan keras bagi Indonesia.
Kekayaan alam adalah titipan, bukan cek kosong untuk dikuras.
Jika kita gagal memastikan bahwa sumber daya itu menyejahterakan pemilik tanah yang sah, maka emas dan batubara di perut bumi kita selamanya akan menjadi kutukan yang abadi bagi anak bangsa.***





















