“Kemiskinan tidak datang dari kurangnya kekayaan, tapi dari keinginan yang tidak terbatas.”
— IBNU KHALDUN
PEMIKIR besar dari dunia Islam, Ibnu Khaldun, mengajukan sebuah tesis yang mengguncang pemahaman kita tentang kemiskinan.
Ia menegaskan bahwa kemiskinan sejati bukanlah sekadar tidak punya harta, melainkan hati yang tak pernah puas.
Ini adalah paradoks yang terus relevan di era konsumerisme saat ini: seseorang bisa saja memiliki kekayaan melimpah, hidup dalam kemewahan, tetapi jika keinginannya tak terbatas, ia akan terus menerus merasa miskin dan kekurangan.
Lingkaran Tanpa Ujung: Haus yang Tak Terpuaskan
Kemiskinan yang dijelaskan Ibnu Khaldun ini bekerja seperti lingkaran tanpa ujung: semakin banyak yang didapat, semakin banyak pula yang ingin dimiliki.
Setiap pencapaian hanya menjadi benchmarking (patokan) baru untuk kebutuhan berikutnya. Inilah yang kita sebut kemiskinan batin—haus yang tidak pernah terpuaskan oleh harta atau status apa pun.
Fenomena ini sering terlihat pada orang-orang yang mengejar kekayaan semata sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Begitu mereka mencapai target finansial A, mata mereka langsung tertuju pada target B, lalu C, membuat mereka selalu merasa tertinggal dari diri mereka sendiri yang ideal. Mereka terjebak dalam perlombaan yang tidak memiliki garis akhir.
Kecukupan Sebagai Kekayaan Sejati
Jauh sebelum Khaldun, Seneca, sang filsuf Stoa, telah menguatkan makna yang sama dengan kalimatnya yang tajam:
“It is not the man who has too little, but the man who craves more, that is poor.”
(Bukanlah orang yang memiliki terlalu sedikit yang miskin, melainkan orang yang mendambakan lebih banyaklah yang miskin).
Seneca dengan lugas menegaskan bahwa kekayaan sejati bukan soal jumlah nol di rekening bank, melainkan kemampuan untuk merasa cukup.
Orang yang bisa mengendalikan keinginannya—yang menguasai diri, alih-alih dikuasai oleh materi—akan selalu hidup dalam kelimpahan, bahkan jika hartanya tergolong sederhana. Mereka adalah orang yang kaya secara spiritual dan mental.
Menata Hati Sebelum Menata Dompet
Maka, pelajaran terbesar dari kedua pemikir ini adalah pentingnya menata keinginan sebelum menata dompet. Jika kita fokus pada apa yang tidak kita miliki, kita akan selalu merasa miskin.
Sebaliknya, jika kita fokus menghargai apa yang sudah kita miliki, kita akan hidup dalam rasa kelimpahan.
Kekayaan hakiki tidak hanya soal isi dompet, tetapi juga soal isi hati. Menguasai keinginan adalah bentuk investasi terbaik yang dapat kita lakukan untuk mencapai kemerdekaan finansial sejati—kemerdekaan dari rasa kurang yang tak pernah habis.
Ini adalah bentuk self-mastery (penguasaan diri) yang akan selalu membedakan antara orang kaya yang merasa miskin, dengan orang sederhana yang merasa berkelimpahan.***
– Serial Filsafat –





















