Parpol Mau Buka Usaha? Saatnya Kita Curiga, Bukan Cuma Setuju

- Redaksi

Jumat, 23 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Parpol Peserta Pemilu mengikuti kirab Pemilu 2024 di Kota Madiun, Jawa Timur, Kamis (21/9/2023). (Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo/rwa)

Parpol Peserta Pemilu mengikuti kirab Pemilu 2024 di Kota Madiun, Jawa Timur, Kamis (21/9/2023). (Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo/rwa)

KETIKA Kementerian Dalam Negeri mengusulkan agar partai politik diperbolehkan mendirikan badan usaha, publik mestinya tidak bersorak. Kita justru harus siaga. Ini bukan sekadar soal ekonomi partai. Ini tentang masa depan demokrasi kita.

Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, mengklaim partai politik di Indonesia butuh sumber pendanaan baru. UU No. 2 Tahun 2011 memang membatasi sumber dana parpol hanya pada iuran anggota, sumbangan sah, dan bantuan negara.

Menurut Bahtiar, ketentuan itu tak cukup menopang kerja politik partai. Karena itu, ia menyarankan revisi aturan agar parpol boleh mendirikan badan usaha—seperti di Jerman, katanya.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, ada satu kenyataan pahit yang dilupakan: Indonesia bukan Jerman.

Jauh Panggang dari Demokrasi

Di Jerman, partai diawasi ketat, tunduk pada akuntabilitas, dan pemimpinnya tak semena-mena. Di Indonesia? Elit parpol rangkap jabatan, kadernya merangsek ke lembaga eksekutif dan legislatif, sementara akuntabilitas internal kerap nihil.

Kita bahkan belum menuntaskan persoalan partai yang tidak berbadan hukum, atau pemilu internal yang disetir ketua umum seumur hidup.

Di situasi seperti ini, melegalkan badan usaha parpol justru seperti memberikan bensin pada api oligarki yang sudah membara.

Legalitas untuk Korupsi yang Terstruktur

Usulan ini datang di tengah berbagai kasus politik yang menyingkap bagaimana proyek negara bisa dimenangkan oleh kroni partai lewat perusahaan “titipan”. Saat badan usaha itu dilegalkan atas nama partai, semua praktik “bagi-bagi proyek” justru akan menjadi sah.

Dan ini bukan paranoia. Ini adalah praktik yang sudah terjadi—hanya belum diberi stempel legal.

Bayangkan jika perusahaan milik partai ikut tender proyek APBN, lalu dimenangkan karena pengaruh politik. Apakah rakyat masih bisa percaya bahwa kebijakan dibuat demi kepentingan publik, bukan keuntungan elite?

Solusi Salah untuk Masalah yang Lebih Dalam

Betul, keuangan partai adalah masalah. Tapi masalah sebenarnya bukan kekurangan uang—melainkan cara uang itu dikelola. Integritas, transparansi, dan demokratisasi internal partai masih jauh dari kata sehat.

Dan selama itu belum dibenahi, memberi partai “izin usaha” sama saja memberi mereka alat dagang baru atas nama kekuasaan.

Jika negara benar-benar peduli pada keberlangsungan partai politik, seharusnya:

  • Dana negara ditambah, tapi disertai audit tahunan terbuka
  • Kaderisasi dilakukan secara demokratis dan terbuka
  • Jabatan elite partai dibatasi periodenya
  • Parpol wajib memiliki badan hukum resmi dan transparan

Bukan malah menyulap partai menjadi perusahaan politik, dan kekuasaan sebagai alat dagang.

Negara atau Korporasi?

Jika tren ini diteruskan, kita tidak sedang melangkah menuju demokrasi yang lebih sehat. Kita justru sedang meluncur menuju “negara perusahaan”, di mana suara rakyat dibeli, kebijakan dijual, dan partai menjadi mesin bisnis kelompok elite.

Hati-hati. Jangan sampai kita mengulang sejarah Orde Baru dalam kemasan demokrasi baru.***

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Mengapa BUMN dan Konglomerat Swasta Indonesia Kalah Oleh Koperasi CHS di Amerika Serikat?  
Ijazah Jokowi Masih Diragukan? Ternyata Ini Basis Pemilih yang Paling Percaya
Saat Kita Lelah Bukan Karena Tubuh, Tapi Karena Terlalu Ingin Mengatur Segalanya
Ini Bukan Soal Domba, Tapi Soal Kita
Mengapa Kaum Intelektual Indonesia Apriori Terhadap Koperasi?: Dekonstruksi Epistemik dalam Bayangan Thomas Sowell 
Kebenaran Baru: Saat Fakta Harus Tunduk pada Framing
Chrysippus dan Rahasia Takut: Mengapa Kita Takut pada Hal yang Belum Tentu Buruk?
Di Balik Ramainya Isu Gibran dan Ijazah Jokowi, Ada Apa Sebenarnya?

Berita Terkait

Selasa, 10 Juni 2025 - 19:43 WIB

Mengapa BUMN dan Konglomerat Swasta Indonesia Kalah Oleh Koperasi CHS di Amerika Serikat?  

Senin, 9 Juni 2025 - 20:16 WIB

Ijazah Jokowi Masih Diragukan? Ternyata Ini Basis Pemilih yang Paling Percaya

Senin, 9 Juni 2025 - 10:27 WIB

Saat Kita Lelah Bukan Karena Tubuh, Tapi Karena Terlalu Ingin Mengatur Segalanya

Minggu, 8 Juni 2025 - 16:27 WIB

Ini Bukan Soal Domba, Tapi Soal Kita

Minggu, 8 Juni 2025 - 12:41 WIB

Mengapa Kaum Intelektual Indonesia Apriori Terhadap Koperasi?: Dekonstruksi Epistemik dalam Bayangan Thomas Sowell 

Berita Terbaru