KETIKA Kementerian Dalam Negeri mengusulkan agar partai politik diperbolehkan mendirikan badan usaha, publik mestinya tidak bersorak. Kita justru harus siaga. Ini bukan sekadar soal ekonomi partai. Ini tentang masa depan demokrasi kita.
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, mengklaim partai politik di Indonesia butuh sumber pendanaan baru. UU No. 2 Tahun 2011 memang membatasi sumber dana parpol hanya pada iuran anggota, sumbangan sah, dan bantuan negara.
Menurut Bahtiar, ketentuan itu tak cukup menopang kerja politik partai. Karena itu, ia menyarankan revisi aturan agar parpol boleh mendirikan badan usaha—seperti di Jerman, katanya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, ada satu kenyataan pahit yang dilupakan: Indonesia bukan Jerman.
Jauh Panggang dari Demokrasi
Di Jerman, partai diawasi ketat, tunduk pada akuntabilitas, dan pemimpinnya tak semena-mena. Di Indonesia? Elit parpol rangkap jabatan, kadernya merangsek ke lembaga eksekutif dan legislatif, sementara akuntabilitas internal kerap nihil.
Kita bahkan belum menuntaskan persoalan partai yang tidak berbadan hukum, atau pemilu internal yang disetir ketua umum seumur hidup.
Di situasi seperti ini, melegalkan badan usaha parpol justru seperti memberikan bensin pada api oligarki yang sudah membara.
Legalitas untuk Korupsi yang Terstruktur
Usulan ini datang di tengah berbagai kasus politik yang menyingkap bagaimana proyek negara bisa dimenangkan oleh kroni partai lewat perusahaan “titipan”. Saat badan usaha itu dilegalkan atas nama partai, semua praktik “bagi-bagi proyek” justru akan menjadi sah.
Dan ini bukan paranoia. Ini adalah praktik yang sudah terjadi—hanya belum diberi stempel legal.
Bayangkan jika perusahaan milik partai ikut tender proyek APBN, lalu dimenangkan karena pengaruh politik. Apakah rakyat masih bisa percaya bahwa kebijakan dibuat demi kepentingan publik, bukan keuntungan elite?
Solusi Salah untuk Masalah yang Lebih Dalam
Betul, keuangan partai adalah masalah. Tapi masalah sebenarnya bukan kekurangan uang—melainkan cara uang itu dikelola. Integritas, transparansi, dan demokratisasi internal partai masih jauh dari kata sehat.
Dan selama itu belum dibenahi, memberi partai “izin usaha” sama saja memberi mereka alat dagang baru atas nama kekuasaan.
Jika negara benar-benar peduli pada keberlangsungan partai politik, seharusnya:
- Dana negara ditambah, tapi disertai audit tahunan terbuka
- Kaderisasi dilakukan secara demokratis dan terbuka
- Jabatan elite partai dibatasi periodenya
- Parpol wajib memiliki badan hukum resmi dan transparan
Bukan malah menyulap partai menjadi perusahaan politik, dan kekuasaan sebagai alat dagang.
Negara atau Korporasi?
Jika tren ini diteruskan, kita tidak sedang melangkah menuju demokrasi yang lebih sehat. Kita justru sedang meluncur menuju “negara perusahaan”, di mana suara rakyat dibeli, kebijakan dijual, dan partai menjadi mesin bisnis kelompok elite.
Hati-hati. Jangan sampai kita mengulang sejarah Orde Baru dalam kemasan demokrasi baru.***