Jakarta, Mevin.ID – Pemerintah kembali bersiap memungut pajak dari para pelapak atau pedagang online yang berjualan di platform seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, Lazada, Bukalapak, dan lainnya.
Kabar ini disampaikan melalui rencana peraturan baru yang kini sedang difinalisasi oleh Kementerian Keuangan, dipimpin langsung oleh Sri Mulyani.
Mengutip laporan Reuters, pelapak dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar akan dikenakan pajak sebesar 0,5 persen dari total penjualan. Uniknya, bukan pelapak yang langsung menyetor, melainkan pihak e-commerce yang diwajibkan memungut dan melaporkannya ke negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tujuannya adalah menyamakan perlakuan antara toko daring dan toko fisik,” ungkap salah satu sumber yang mengetahui langsung isi presentasi Ditjen Pajak.
Platform Menolak, Pedagang Resah
Langkah ini kontan memicu reaksi keras dari platform e-commerce. Beberapa perusahaan menyatakan keberatan dengan beban administratif tambahan yang akan mereka tanggung. Tak hanya itu, mereka juga khawatir regulasi ini akan membuat pelapak kecil kabur dari ekosistem digital.
“Biaya administrasinya akan naik, dan ini bisa memicu pelapak kembali ke pasar tradisional atau jualan diam-diam,” sebut sumber tersebut.
Pemerintah sendiri pernah mencoba regulasi serupa pada akhir tahun 2018, namun dibatalkan hanya dalam waktu tiga bulan setelah mendapat penolakan luas dari industri. Kali ini, Kemenkeu nampaknya lebih siap dan terstruktur, karena juga menyertakan sanksi denda bagi platform yang tidak memungut atau telat menyetor pajak.
Beban Baru di Tengah Kompetisi Sengit
Pungutan ini, jika diterapkan, tentu akan menambah tekanan bagi para pelapak yang selama ini hidup di tengah kompetisi harga, diskon besar-besaran, dan biaya promosi yang tinggi di marketplace.
“Pelanggan sudah terbiasa gratis ongkir dan harga murah. Sekarang kami malah ditambah pajak. Berat,” keluh seorang pelapak kecil di TikTok Shop yang tak ingin disebutkan namanya.
Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) belum memberi pernyataan resmi soal ini. Sementara itu, Kementerian Keuangan juga memilih tidak berkomentar saat dimintai konfirmasi.
Akankah Terulang Seperti 2018?
Pertanyaan besar kini muncul: apakah kebijakan ini akan benar-benar diterapkan, atau kembali ditarik karena tekanan industri seperti tujuh tahun lalu?
Yang jelas, jika pemerintah ingin menarik pajak secara adil, maka transparansi dan pendampingan kepada pelapak mikro menjadi syarat mutlak. Jangan sampai regulasi ini justru mematikan usaha kecil yang sedang beradaptasi dengan dunia digital.
Karena pada akhirnya, negara butuh pajak, tapi pelapak juga butuh nafas untuk bertahan hidup.***