DALAM hidup, kita sering berharap kebaikan akan kembali sebagai kebaikan. Tapi kenyataannya, tak jarang pengabdian tulus dibalas dengan penghakiman, dan kesetiaan dibayar dengan pengkhianatan.
Namun, sebuah kisah lama tentang seorang pelayan dan sepuluh anjing mengingatkan kita bahwa nilai kemanusiaan sejati bisa hidup di tempat yang paling tak terduga.
***
Di sebuah kerajaan, tinggal seorang pelayan yang telah mengabdi selama sepuluh tahun. Ia bekerja dalam diam, melayani dengan sepenuh hati, tanpa pernah berharap lebih dari pengakuan dan rasa percaya.
Namun, pada suatu hari, satu kesalahan kecil cukup untuk menghapus semua. Raja—pemimpin yang dikenal keras dan tak mengenal ampun—murka.
Tanpa banyak bicara, ia menjatuhkan vonis: pelayan itu akan dilempar ke kandang sepuluh anjing liar, binatang buas yang dilatih untuk mencabik siapa pun yang bersalah.
Tak ada ruang untuk membela diri. Tapi pelayan itu tak menyerah pada nasib. Ia meminta satu hal: sepuluh hari waktu. Bukan untuk melarikan diri. Bukan untuk membalas dendam.
Tapi untuk melayani—bukan sang raja, melainkan anjing-anjing yang kelak akan menjadi algojonya.
Sepuluh hari itu ia habiskan dengan kasih sayang. Ia memberi makan para anjing, membersihkan luka-luka mereka, menyisir bulu, memandikan mereka, bahkan berbicara pada mereka seakan mereka mengerti.
Tidak ada dendam, hanya kemanusiaan yang diam-diam ia bagikan pada makhluk yang selama ini dijuluki liar.
***
Hari hukuman tiba. Ia dilempar ke kandang, disaksikan seluruh istana. Tapi yang terjadi bukan jeritan minta tolong. Anjing-anjing itu tidak menggigit. Mereka tidak mencabik. Mereka hanya mengendus lembut, menjilati kaki si pelayan—seolah mereka berkata: kami mengenalmu…
Raja tertegun. “Apa yang terjadi pada anjing-anjingku?” tanyanya.
Dan pelayan itu menjawab, pelan tapi penuh makna:
“Aku melayani mereka selama sepuluh hari dan mereka tidak melupakan aku. Tapi aku melayani Anda selama sepuluh tahun… dan Anda melupakan aku karena satu kesalahan.”
***
Di ruang sunyi istana, semua diam. Bahkan sang raja pun tak lagi punya kata. Sebuah kalimat yang sederhana telah mengguncang takhtanya—bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai manusia.
Kisah ini mungkin fiktif. Tapi betapa seringnya kita menjadi seperti raja itu—mudah melupakan, cepat menghakimi, pelupa terhadap kebaikan lama karena kesalahan hari ini.
Dan kadang, dalam dunia yang keras ini, justru mereka yang tak bersuara—seperti anjing-anjing itu—yang mengajarkan apa arti setia, apa arti kemanusiaan.
Sebab kebaikan, sesungguhnya, tidak pernah sia-sia. Ia hanya menunggu waktu untuk pulang.***





















