Bandung, Mevin.ID – Di tengah rasa lelah publik terhadap banjir remake Hollywood, kehadiran versi live-action How to Train Your Dragon (2025) ibarat angin segar yang membuktikan bahwa sebuah daur ulang bisa tetap magis — jika digarap dengan niat, bukan semata cuan.
DreamWorks untuk pertama kalinya menerjemahkan salah satu mahakarya animasinya ke medium live-action, dan hasilnya tak mengecewakan. How to Train Your Dragon berhasil menghidupkan kembali petualangan Hiccup dan Toothless bukan hanya dengan efek visual mutakhir, tapi juga dengan hati.
Mengulang Keajaiban, Tanpa Menghancurkan Ingatan
Keberhasilan live-action ini tidak lepas dari keputusan cerdas: tetap setia pada cerita asli. Tak ada twist berlebihan. Tak ada ambisi mengubah jalan cerita demi terlihat baru. Film ini tahu diri — bahwa mengutak-atik kisah yang sudah nyaris sempurna hanya akan menjebak pembuatnya sendiri.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dean DeBlois, yang juga menyutradarai versi animasi tahun 2010, kembali di kursi sutradara. Keputusannya untuk membawa kembali nuansa dan struktur asli terbukti jitu. Beberapa adegan bahkan hadir dalam format shot-for-shot, menghadirkan nostalgia sekaligus rasa kepercayaan: kita dituntun oleh tangan yang sama.
Visual Ciamik, Musik Ikonik, dan Pemeran Menawan
Pulau Berk kini tak lagi hanya khayalan dua dimensi. Berkat sentuhan visual Bill Pope — sinematografer yang dikenal lewat The Matrix — desa Viking, lautan kabut, hingga naga-naga raksasa menjelma menjadi lanskap hidup yang memesona. Bahkan detail seperti serpihan kayu di rumah Stoick atau tekstur sisik Toothless terlihat nyaris nyata.
Musik dari John Powell kembali hadir sebagai jantung emosional film ini. Dari hentakan petualangan hingga lirihnya kesedihan, scoring-nya mengikat penonton ke dunia yang pernah kita cintai — dan kini bisa disentuh lebih dekat.
Mason Thames sebagai Hiccup tampil meyakinkan. Sosoknya membawa kepolosan, keberanian, dan luka — karakterisasi yang pernah menjadikan Hiccup sebagai salah satu protagonis animasi paling disayangi. Di sisi lain, Nico Parker (Astrid), Gerard Butler (Stoick), hingga Nick Frost (Gobber) menghidupkan karakter dengan keseimbangan humor dan rasa hormat terhadap versi aslinya.
Masih Ada Cela, Tapi Tidak Mengganggu
Bukan berarti semuanya sempurna. Beberapa adegan terbang masih terasa “kasar” secara CGI, terutama saat interaksi karakter di punggung Toothless. Namun kekurangan ini tak cukup mengganggu untuk memutus keasyikan menonton — apalagi jika Anda datang dengan hati terbuka dan ingatan hangat akan versi animasinya.
Layak Tonton, Walau Tak Harus
Apakah versi ini wajib ditonton? Tidak. Apalagi jika Anda merasa versi animasi sudah terlalu melekat di hati. Namun jika Anda ingin merasakan kembali sihir hubungan manusia dan naga dalam kemasan baru yang tetap hangat dan megah, maka How to Train Your Dragon versi live-action adalah undangan yang layak diterima.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam deretan remake yang terasa sinis dan repetitif, kita bisa berkata: ini lebih dari sekadar pengulangan — ini adalah bentuk penghormatan.***