Jakarta, Mevin.ID – Praktisi hukum Maqdir Ismail menyarankan agar tugas penyidikan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tetap menjadi kewenangan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Menurutnya, hal ini penting untuk memastikan efektivitas proses penyidikan.
“Untuk efektifnya penyidikan, maka penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri saja,” kata Maqdir dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (15/3/2025).
Maqdir menegaskan bahwa kejaksaan sebaiknya tetap fokus pada kewenangannya dalam menjalankan penuntutan dan eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Namun, ia tidak menutup kemungkinan bagi jaksa untuk mengambil alih penyidikan jika penyidik Polri dinilai tidak mampu menyelesaikan suatu perkara.
“Bisa saja jaksa diberikan kewenangan untuk mengambil alih penyidikan jika penyidik tidak mampu menyelesaikan penyidikan suatu perkara tersebut, guna memberikan kepastian hukum terhadap proses penyidikan,” ujarnya.
Penghapusan PPNS dalam Penyidikan
Maqdir juga berpendapat bahwa semua proses penyidikan sebaiknya dilakukan oleh penyidik Polri, sehingga tidak perlu lagi adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Ia mengusulkan agar PPNS lebih difungsikan sebagai tenaga ahli dalam penyidikan, mengingat pengetahuan mereka yang spesifik di bidang tertentu.
“Sekiranya masih dianggap perlu ada PPNS, maka fungsi mereka sebaiknya melakukan penyidikan terhadap pelanggaran administratif, bukan perbuatan pidana yang merupakan kejahatan,” ungkapnya.
Usulan Hakim Pengawas
Untuk memastikan proses penyidikan dan penuntutan berjalan sesuai hukum sebelum sampai ke persidangan, Maqdir mengusulkan adanya hakim pengawas. Hakim pengawas ini nantinya akan melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyidik dan penuntut umum.
“Hakim pengawas nantinya bisa melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyidik dan penuntut umum,” jelasnya.
RUU KUHAP Masuk Prolegnas Prioritas 2025
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa (18/2/2025) telah menyetujui RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai RUU usul inisiatif DPR RI. Persetujuan ini dilakukan setelah seluruh fraksi partai politik di DPR RI menyampaikan pandangannya secara tertulis.
RUU KUHAP pun telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan oleh Komisi III DPR RI. Pembahasan RUU KUHAP dinilai mendesak karena UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan berlaku pada 2 Januari 2026.
“KUHAP merupakan hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materiil. Untuk itu, semangat politik hukum KUHAP harus sama dengan semangat politik hukum yang terkandung dalam KUHP,” tegas Komisi III DPR RI.
Pentingnya Harmonisasi KUHAP dan KUHP
Pengesahan RUU KUHAP dinilai penting untuk menciptakan harmonisasi antara hukum acara pidana (KUHAP) dan hukum materiil pidana (KUHP). Hal ini diharapkan dapat memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.
Kesimpulan
Usulan Maqdir Ismail untuk mempertahankan kewenangan penyidikan pada Polri dan menghapus PPNS dalam penyidikan pidana menjadi masukan penting dalam pembahasan RUU KUHAP.
Selain itu, usulan adanya hakim pengawas juga diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Dengan masuknya RUU KUHAP dalam Prolegnas Prioritas 2025, diharapkan pembahasan dan pengesahannya dapat segera dilakukan untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih efektif dan berkeadilan.***





















