Raja Ampat, Mevin.ID – Tak banyak yang tahu bahwa jauh sebelum dikenal sebagai bagian dari surga wisata Raja Ampat, Pulau Gag telah menjadi saksi sejarah eksplorasi tambang nikel sejak masa kolonial Belanda.
Pulau kecil di Papua Barat Daya ini menyimpan cerita panjang tentang kekayaan mineral, bentang alam eksotis, dan kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari laut dan tanahnya.
Eksplorasi Nikel Sejak Zaman Belanda
Pulau Gag mulai dieksplorasi pada 1920 oleh pemerintah kolonial Belanda. Hingga tahun 1958, Belanda melakukan pengeboran dan studi awal kandungan nikel di perut bumi pulau itu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketika Indonesia merdeka, perusahaan tambang Belanda tersebut dinasionalkan, membuka jalan bagi hadirnya perusahaan baru dari Amerika, lalu Australia.
Pada periode 1960–1982, PT Pacific Nickel Indonesia, perusahaan modal asing dari AS, melanjutkan aktivitas pertambangan. Setelahnya, berbagai skema patungan dan kerja sama terbentuk, salah satunya antara PT Antam dan QNI (1986–1990), hingga akhirnya pada 1996–1998, negosiasi antara Antam dan BHP Biliton melahirkan PT Gag Nikel.
Perusahaan ini kemudian mendapatkan kontrak karya generasi ke-7 pada 1998, meskipun sempat terhenti karena penetapan pulau sebagai hutan lindung. Aktivitas kembali dilanjutkan sejak 2003, dengan area eksplorasi mencapai 9.500 hektar. Menurut data BRIN, cadangan nikel Pulau Gag mencapai 171 juta wmt, menjadikannya salah satu yang terbesar di Indonesia.
Bukan Sekadar Tambang, Ini Juga Tanah Tradisi
Peneliti BRIN, Hari Suroto, mencatat bahwa meskipun dikenal karena tambangnya, Pulau Gag memiliki nilai budaya dan ekologi yang tak kalah penting. Nama “Gag” sendiri berasal dari sebutan masyarakat lokal untuk hewan laut teripang, yang dahulu banyak ditemukan di perairan sekitar pulau.
Topografi Pulau Gag didominasi oleh bukit-bukit bergelombang. Puncaknya adalah Gunung Susu, menjulang 350 meter di atas permukaan laut. Area inilah yang menjadi lokasi konsentrasi tambang—berada jauh dari area permukiman dan pesisir.
Masyarakat yang Hidup dari Laut dan Lembah
Penduduk Pulau Gag sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, pekebun, dan penokok sagu. Di sela aktivitas melaut, mereka berkebun di lembah subur dan memproduksi kopra dari kelapa pesisir. Produk laut seperti tuna, baronang, samandar, dan lobster menjadi sumber penghidupan utama, baik untuk konsumsi sendiri maupun dijual ke pengepul di Sorong.
Sementara di darat, hasil kebun seperti ubi, terong, cabai, hingga sirih dikonsumsi masyarakat lokal dan sesekali dijual. Kebun mereka berada cukup jauh dari permukiman, dan aktivitas bertani lebih sering dilakukan saat laut sedang tidak bersahabat.
Lapangan Udara, Kini Jadi Padang Ternak
Menariknya, Pulau Gag pernah memiliki landasan udara yang dibangun pada masa operasional Asia Pacific Nickel. Namun kini, lapangan tersebut justru lebih sering digunakan untuk menggembala ternak, atau sesekali mendaratkan pesawat pemerintah yang tengah melakukan kunjungan kerja.
Pulau Gag, hari ini, berada di persimpangan antara masa lalu kolonial, masa kini yang industrial, dan masa depan yang penuh potensi—baik dari sisi ekonomi maupun konservasi.
Sebuah pulau kecil yang mengajarkan kita bahwa harmoni antara sumber daya alam dan kearifan lokal bukan hal yang mustahil.***