Jakarta, Mevin.ID – Ketegangan antara pusat dan daerah kembali menghangat. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tak perlu ada pertemuan dengan para kepala daerah, termasuk Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM), terkait polemik dana pemerintah daerah (pemda) yang disebut mengendap di bank hingga Rp234 triliun per September 2025.
“Enggak perlu ketemu. Itu bukan urusan saya. Biar saja Bank Indonesia yang kumpulkan datanya, saya hanya pakai data dari bank sentral,” ujar Purbaya di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Kamis (23/10).
Purbaya menekankan, para gubernur seharusnya langsung meminta klarifikasi kepada BI. Ia menegaskan bahwa data tersebut bersumber dari laporan perbankan resmi, bukan sekadar hitungan sepihak.
Namun pernyataan itu berbuntut panjang. Beberapa kepala daerah, termasuk Dedi Mulyadi, merasa temuan tersebut tidak akurat.
Bahkan, Dedi sempat mengunggah video klarifikasi di akun Instagram pribadinya @dedimulyadi71, menantang pemerintah pusat membuka data secara transparan.
“Saya sudah cek ke Bank BJB, tidak ada uang nganggur seperti yang disebut Rp4,17 triliun. Dana kas daerah kami digunakan untuk proyek, gaji pegawai, dan belanja operasional,” ujar Dedi usai menemui pihak BI dan Kemendagri, Rabu (22/10).
Ia menjelaskan, saldo di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Jabar per 30 September hanya sekitar Rp2,62 triliun, seluruhnya di Bank BJB. “Kalau ada data berbeda, saya siap pecat Sekda saya,” tambahnya tegas.
Sementara itu, Purbaya mengingatkan risiko pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika ada ketidaksesuaian data.
“Ada yang bilang uangnya bukan deposito, tapi di rekening giro. Malah lebih rugi, bunganya lebih rendah. Kenapa taruh di giro kalau begitu? Pasti nanti akan diperiksa BPK,” ucapnya dengan nada mengingatkan.
Polemik dana mengendap ini juga menyeret beberapa kepala daerah lain. Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyebut saldo RKUD Pemda Sumut hanya Rp990 miliar, jauh dari angka yang disebut pusat.
Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung justru mengakui temuan Kemenkeu.
“Dana Rp14,6 triliun itu betul seribu persen. Tapi itu memang pola pembayaran kami, biasanya terjadi di akhir tahun untuk proyek dan gaji,” kata Pramono.
Pernyataan itu sekaligus memperlihatkan bahwa perdebatan bukan semata tentang angka, tapi soal persepsi: apakah dana itu “mengendap” atau “menunggu saatnya digunakan”.
Di tengah silang pendapat antara pusat dan daerah, peringatan Purbaya terdengar seperti pesan moral:
bahwa uang publik tak boleh sekadar tidur di rekening — sekalipun atas nama administrasi.
Sebab di balik setiap angka yang mengendap, selalu ada proyek yang tertunda, gaji yang menunggu, dan rakyat yang menagih manfaatnya.***





















