Jakarta, Mevin.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah menimbulkan perdebatan hangat di parlemen.
Sebanyak delapan fraksi di DPR telah menyatakan sikap—sebagian menolak tegas, sementara lainnya memberi sinyal dukungan.
Putusan ini tercantum dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi). Dalam amar putusan yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, MK menyatakan bahwa pemilu kepala daerah dan DPRD digelar setelah pemilu nasional, dengan jeda waktu minimal dua tahun hingga maksimal dua setengah tahun.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemilu nasional mencakup pemilihan presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD. Sementara pemilu lokal meliputi pemilihan gubernur, bupati/wali kota, dan anggota DPRD.
Berikut rangkuman sikap fraksi-fraksi di DPR terhadap putusan MK ini:
PDIP – Waspadai Potensi Langgar Konstitusi
Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan pemilu semestinya digelar setiap lima tahun sekali, sebagaimana diatur UUD 1945. PDIP belum bersikap secara resmi, namun menilai putusan ini perlu dikaji seksama.
Golkar – Masih Mengkaji Implikasi Hukum
Adies Kadir menyebut Partai Golkar belum mengambil sikap resmi karena putusan MK ini masih menimbulkan perdebatan dari aspek konstitusional dan implementatif.
Gerindra – Soroti Inkonsistensi MK
Sufmi Dasco Ahmad mengingatkan bahwa MK pernah mengeluarkan putusan berbeda dalam uji undang-undang yang sama. Ia menyarankan agar MK lebih konsisten dalam penafsiran hukum.
NasDem – Tolak Tegas, Nilai Inkonsitusional
NasDem melalui Lestari Moerdijat menyebut putusan MK bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 dan karena itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
PKB – Usul Kembali ke DPRD Pilih Kepala Daerah
Ketua Fraksi PKB Jazilul Fawaid mengusulkan agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Ia menilai itu akan lebih efisien dan sesuai dengan semangat efektivitas pemilu.
PKS – Masih Kajian Internal
Sekjen PKS Muhammad Kholid mengatakan fraksinya belum menyatakan sikap resmi dan masih melakukan kajian terhadap dampak dan legitimasi putusan MK.
Demokrat – Beri Sinyal Dukungan
Dede Yusuf dari Demokrat menyebut usulan jeda antara pemilu nasional dan lokal pernah disuarakan pihaknya. Namun, ia tetap meminta agar risiko perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan DPRD dikaji matang.
PAN – Kritik Kewenangan MK
Eddy Soeparno dari PAN menyebut MK telah membuat norma hukum baru dalam putusan ini, sesuatu yang menurutnya di luar kewenangan lembaga tersebut. PAN masih mengkaji dampak politik dan yuridis dari keputusan ini.
Menuju Sistem Baru Pemilu?
Putusan ini bisa menjadi titik awal perubahan sistem politik elektoral Indonesia. Namun, di saat yang sama, memicu kekhawatiran terhadap potensi pelanggaran konstitusi. Jika dijalankan, pada 2029 Indonesia akan menjalani dua siklus pemilu berbeda dalam satu periode kekuasaan—dan itu adalah sejarah baru.
Akankah putusan ini membuat demokrasi Indonesia lebih efisien, atau justru membelah kembali kedaulatan rakyat dalam dua tahap?
Waktu akan menjawab.***