BAYANGKAN seorang perempuan muda, hidup sendirian di tengah kota. Pekerjaannya biasa saja. Aktivitas hariannya penuh tekanan.
Di sela waktu, ia sempatkan salat, sedekah, dan berdoa.
Tapi jujur saja—semua itu sering dilakukan dengan satu harapan: agar Tuhan memberinya rezeki, jodoh, atau ampunan. Ia takut dosa. Takut neraka. Dan mungkin, diam-diam bertanya:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau aku berhenti takut, apakah aku juga berhenti taat?”
Lalu datanglah kisah seorang sufi perempuan dari abad ke-8, Rabi’ah al-Adawiyah.
Perempuan miskin, tanpa gelar, tanpa pengikut ribuan, tapi menggetarkan sejarah Islam dengan satu hal yang jarang kita temukan di zaman ini: cinta kepada Tuhan yang murni, tanpa syarat, tanpa pamrih.
“Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika karena mengharap surga, haramkanlah surga untukku. Tapi jika aku menyembah-Mu karena cinta, maka jangan palingkan wajah-Mu dariku.”
Ketika Agama Jadi Transaksi
Hari ini, agama sering terasa seperti pasar rohani. Kita diajarkan untuk menabung pahala, membayar “cicilan” dosa, dan menghindari ‘denda’ siksa. Kita puasa karena takut dosa. Kita salat karena takut azab. Kita bersedekah agar dipermudah rezeki.
Tapi di tengah semua itu, kita jarang ditanya:
“Apakah kamu menyembah karena cinta?”
Rabi’ah mengajarkan sesuatu yang lebih dalam dari ritual: rasa hadir di hadapan Tuhan, bukan karena ingin imbalan atau takut hukuman, tapi karena rindu. Karena sadar, bahwa Tuhan bukan objek ketakutan, tapi sumber cinta.
Agama yang Membebaskan, Bukan Menggertak
Di zaman media sosial, kita cepat sekali diadili karena kesalahan kecil. Salah ucap, salah penampilan, salah bacaan. Agama pun kadang berubah jadi pagar tinggi, bukan jalan pulang.
Rabi’ah tidak menggugat syariat. Ia justru menembusnya. Menyelami makna di balik aturan. Ia hidup tanpa sorotan, tapi hadir penuh dalam relasi batinnya dengan Tuhan.
Dan itu pula yang kita butuhkan hari ini. Agama yang menghidupkan, bukan menakut-nakuti. Ibadah yang mendekatkan, bukan membuat kita merasa kerdil, kotor, dan tak layak.
Mencintai Tuhan di Era Penuh Distraksi
Cinta kepada Tuhan di zaman sekarang bukan soal mengasingkan diri ke gunung atau masjid 24 jam. Tapi bagaimana di tengah tagihan, pekerjaan, scroll TikTok, dan kecemasan hidup, kita masih bisa diam sejenak dan berkata:
“Ya Allah, aku di sini. Hatiku tetap ingin dekat pada-Mu.”
Rabi’ah tidak mengajarkan kesempurnaan. Ia hanya mengingatkan: bahwa ketika semua pamrih dunia sirna, Tuhan tetap layak dicintai.
***
Mungkin kamu sedang merasa lelah beragama. Terjebak di antara rasa bersalah dan ketakutan. Tapi Rabi’ah datang dari abad lampau untuk mengingatkan kita:
Berhentilah takut. Mulailah mencinta.
Karena Tuhan bukan hanya hakim. Dia juga kekasih yang menunggu kamu datang, bukan dengan persembahan besar—tapi dengan hati yang tulus dan tenang.
Kalau kamu merasa agama belakangan ini terasa sempit dan berat, mungkin ini saatnya kamu mengenal Tuhan yang dicintai Rabi’ah: Tuhan yang tak menuntut sempurna, tapi setia menanti cinta.
Karena surga bukan tujuan akhir.
Cinta adalah jalan pulangnya.