Cimahi, Mevin.ID — Di sebuah kampung kecil yang masih lekat dengan nafas leluhur, 1.000 jiwa bertahan hidup bukan dengan nasi, tapi dengan rasi—beras singkong. Itulah wajah Kampung Adat Cireundeu, di lereng-lereng tenang Kota Cimahi yang kini mulai riuh oleh suara pembangunan.
Selama puluhan tahun, warga Cireundeu memilih untuk tidak makan nasi. Bukan karena tak mampu, tapi karena pilihan nilai. Mereka menanam, mengolah, dan mengonsumsi singkong sebagai warisan budaya dan bentuk hidup selaras dengan alam.
Namun kini, tanah yang menjadi nafas mereka—seluas 40 hektare—terancam. Bukan oleh bencana, tapi oleh perubahan lingkungan yang pelan tapi pasti menggerus ruang hidup mereka.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Rariweuh, Pak… Lumayan untuk mempertahankannya,” ujar Abah Asep, sesepuh kampung, dengan suara lirih saat berbicara dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang berkunjung langsung ke sana, Minggu (22/6/2025).
Singkong Bukan Sekadar Makanan
Dalam perbincangan yang terekam dan dibagikan di akun Instagram @dedimulyadi71, mantan Bupati Purwakarta itu bertanya langsung:
“Jadi makannya sampeu (singkong), tidak makan beras? Ada berapa KK?”
“Ada 60 KK, sekitar 1.000 orang,” jawab Abah Asep.
Di Cireundeu, singkong bukan hanya bahan pangan—ia adalah identitas. Tanah ditanami bersama, hasil panen dibagi rata, dan tak ada yang membeli rasi dari tetangganya. Jika seseorang butuh, mereka tinggal ambil dari lahan siapa pun. Semua saling mengisi, semua saling menjaga.
View this post on Instagram
Namun sistem ini terancam punah. Lahan 40 hektare yang menjadi sumber kehidupan kini dikepung pembangunan. Bukit-bukit mulai ditutupi beton. Perumahan menggeliat naik ke lereng, dan sedikit demi sedikit, ruang tanam menyempit.
Janji di Antara Tanaman Sampeu
Mendengar keluhan warga, Dedi Mulyadi tidak tinggal diam.
“Kita tetapkan saja sebagai cagar budaya, agar tidak terinvensi oleh yang lain,” ucapnya.
Penetapan status ini dinilai warga sebagai harapan baru—cara untuk melindungi tidak hanya tanah, tetapi juga cara hidup yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi.
Di saat dunia modern menggoda dengan kepraktisan, Cireundeu justru mengajarkan nilai kesederhanaan, gotong royong, dan keberlanjutan. Mereka tidak menolak perubahan, tapi menolak dilupakan.
Menanam Harapan, Memanen Martabat
Di kampung ini, tidak ada panen raya. Tidak ada perayaan besar. Sebab singkong ditanam dan dipanen sepanjang tahun, setiap hari. Yang dirayakan adalah hidup yang terus berjalan, bumi yang masih memberi, dan tangan-tangan yang tetap mau mengolahnya.
“Kami tidak sekadar makan sampeu. Kami hidup dari dan untuk tanah ini,” ujar seorang ibu muda di sela kegiatan menjemur rasi.
Di tengah kota yang terus tumbuh ke atas, Kampung Adat Cireundeu tetap bertahan—dengan akar yang kuat menancap ke tanah, dan tekad yang tak goyah menjaga warisan budaya di tengah gempuran zaman.***