Jakarta, Mevin.ID — Sebanyak 300 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia tercatat masih merugi dengan total kerugian mencapai Rp5,5 triliun. Fakta ini diungkap Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah (KPID), Selasa (21/10/2025).
BUMD yang rugi tersebar di berbagai sektor, mulai dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), hingga perusahaan migas dan pariwisata daerah.
Dari total 1.091 BUMD di seluruh Indonesia, sekitar 28 persen di antaranya mencatatkan kerugian, sementara 60 persen lainnya masih memperoleh laba bersih sekitar Rp29,6 triliun.
“Total aset BUMD ini mencapai sekitar Rp1.240 triliun. Potensinya besar, tapi masih banyak yang belum dikelola secara optimal,” kata Tito.
Aset Besar, Manajemen Lemah
Kementerian Dalam Negeri mencatat, mayoritas kerugian disumbang oleh 127 PDAM dan ratusan BPR daerah, yang sebagian besar menghadapi masalah klasik: efisiensi rendah, tata kelola lemah, dan ketergantungan pada dana APBD.
Beberapa BUMD bahkan tercatat tidak pernah menyetorkan dividen bertahun-tahun, meski masih mengelola sumber daya publik.
Kondisi ini membuat pemerintah pusat menyoroti pentingnya reformasi manajemen BUMD agar tidak menjadi “beban daerah” di tengah agenda pemerataan ekonomi nasional.
Usulan Dirjen Baru di Kemendagri
Menanggapi persoalan ini, Mendagri Tito mengusulkan pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) khusus di Kemendagri untuk menangani pembinaan dan pengawasan BUMD.
“Kami sudah mengusulkan kepada Presiden melalui Menpan-RB dan Mensesneg. Sekarang sedang dalam proses pembentukan Ditjen yang khusus mengurus BUMD,” ujarnya.
Langkah ini diharapkan menjadi titik balik agar aset besar milik daerah tidak lagi menjadi tumpukan angka di neraca, tetapi sumber pertumbuhan ekonomi nyata.
Antara Misi Publik dan Efisiensi Bisnis
BUMD pada dasarnya dibentuk untuk melayani masyarakat sekaligus memperkuat ekonomi daerah. Namun dalam praktiknya, banyak yang terjebak di antara dua kutub: misi sosial dan efisiensi bisnis.
Sebagian BUMD melayani publik dengan harga murah, tapi tak mampu menutup ongkos operasional. Sebaliknya, ada yang terlalu berorientasi laba hingga abai pada fungsi pelayanan.
Kondisi ini memperlihatkan paradoks pembangunan daerah di Indonesia: potensi besar, tapi dikelola secara tambal-sulam.
Pemerintah berharap kehadiran Ditjen khusus nanti dapat mengonsolidasikan data, mengawasi pengelolaan keuangan, dan memastikan BUMD tak lagi sekadar “stempel proyek daerah”.
Dengan aset mencapai lebih dari seribu triliun, BUMD sejatinya bisa menjadi mesin ekonomi lokal — jika dikelola dengan visi profesional dan transparan.
Sebab, sebagaimana dikatakan Tito, “aset daerah bukan sekadar angka dalam laporan, tapi amanah publik yang harus memberi manfaat nyata bagi rakyat.”***





















