SETIAP akhir pekan, pusat perbelanjaan di kota besar berubah menjadi lautan manusia. Anak-anak muda berfoto di depan toko yang bahkan tak mereka masuki. Keluarga datang berbondong-bondong, menyusuri etalase demi etalase, sekadar bertanya harga atau mencoba produk—namun pergi dengan tangan kosong.
Fenomena ini kini punya nama: Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya). Istilah yang terdengar jenaka, namun menyimpan kisah getir di balik senyum terpaksa para pelaku usaha.
Bagi Sari (35), pemilik butik pakaian lokal di salah satu mal di Jakarta, kehadiran Rojali dan Rohana adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, keramaian ini menggembirakan—mal jadi hidup, brand-nya ter-ekspos, dan peluang viral di media sosial terbuka.
Tapi di sisi lain, omzet tidak bergerak seiring langkah kaki pengunjung yang hanya berkeliling. “Setiap hari ramai, tapi baju yang laku bisa dihitung jari. Banyak yang hanya tanya ukuran, foto-foto, lalu pergi,” ujarnya lirih.
Namun tak semua sektor bernasib serupa. Di lantai bawah mal yang sama, Didi (41), pemilik waralaba minuman kekinian, justru meraup cuan dari gelombang Rojali-Rohana.
“Mereka nggak belanja baju, tapi capek keliling kan haus juga. Jadi mampir beli minuman. Saya sih nggak keberatan mal rame, asal ada yang beli,” katanya sembari tersenyum. Bagi sektor makanan dan hiburan, fenomena ini justru berkah tersendiri.
Fenomena Rojali dan Rohana membuka ruang diskusi tentang perilaku konsumsi masyarakat urban pasca-pandemi. Banyak yang ingin merasakan atmosfer “jalan-jalan ke mal” sebagai bagian dari rekreasi murah.
Tapi di balik euforia itu, pelaku UMKM di dalam mal menghadapi tantangan serius: ongkos sewa tinggi, gaji karyawan, dan stok yang menumpuk—sementara transaksi tak sebanding dengan ekspektasi.
Di sinilah kita perlu melihat lebih dalam: bahwa setiap kunjungan, setiap obrolan dengan penjaga toko, bukan sekadar interaksi sepele. Ada harapan yang menggantung di sana, ada target bulanan yang belum tercapai, ada biaya operasional yang harus ditutup.
Mungkin kita tak bisa menyalahkan sepenuhnya para Rojali dan Rohana. Tapi di era ekonomi digital ini, belanja bukan hanya soal kebutuhan, melainkan keberpihakan.
Membeli dari toko kecil bisa jadi berarti lebih besar dari sekadar transaksi; itu adalah bentuk dukungan pada keberlangsungan usaha yang sedang bertahan di tengah riuhnya gaya hidup “window shopping”.***





















