Jakarta, Mevin.ID – Hukum acara pidana Indonesia bakal memasuki babak baru. Setelah lebih dari empat dekade diberlakukan tanpa revisi besar, Komisi III DPR RI kini tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang memuat 334 pasal dan mencakup 10 substansi perubahan utama.
RUU ini menjadi amunisi pembaruan sistem peradilan pidana Indonesia, terutama dalam hal perlindungan hak-hak warga negara yang berhadapan dengan hukum, serta penguatan peran advokat dan saksi.
“KUHAP saat ini belum mampu memberikan perlindungan maksimal terhadap hak warga. Maka, pembaruan ini penting untuk menjamin proses hukum yang lebih adil, terbuka, dan profesional,” ujar Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, Selasa (8/7/2025), di kompleks parlemen.
10 Perubahan Besar dalam RUU KUHAP
Berikut 10 substansi utama yang diusulkan dalam draf KUHAP versi baru:
- Penyesuaian dengan KUHP Baru
Mengadopsi nilai-nilai hukum pidana terbaru: restoratif, rehabilitatif, dan restitutif, sesuai KUHP baru yang berlaku mulai 1 Januari 2026. - Penguatan Hak Subjek Proses Hukum
Termasuk hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi. - Peran Advokat Diperluas
Untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan hukum dalam sistem peradilan pidana. - Perlindungan Kelompok Rentan
Diatur lebih rinci hak-hak perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia. - Perbaikan Mekanisme Upaya Paksa
Agar penegakan hukum tetap efisien dan menghormati HAM. - Upaya Hukum Diperjelas
Termasuk pengaturan banding, kasasi, hingga peninjauan kembali dengan prinsip check and balances. - Penguatan Asas HAM dan Pengawasan Imparsial
Supaya aparat tidak bertindak semaunya sendiri tanpa pengawasan setara. - Sinkronisasi dengan Konvensi Internasional
Termasuk UNCAC dan peraturan tentang perlindungan korban serta pra-peradilan. - Modernisasi Hukum Acara
Mendorong sistem peradilan yang cepat, transparan, dan berbasis teknologi. - Revitalisasi Hubungan Penyidik–Jaksa
Agar proses hukum berjalan selaras, adil, dan tidak tumpang tindih.
Habiburokhman menyebut pihaknya berharap RUU KUHAP dapat segera masuk pembahasan lebih lanjut dan disahkan sebelum masa kerja DPR saat ini berakhir.
Namun, tantangan tak ringan: dari tarik ulur politik, tekanan dari aparat penegak hukum, hingga kebutuhan reformasi menyeluruh di lembaga peradilan.
Jika RUU ini benar-benar berpihak pada hak rakyat dan asas keadilan, maka kita patut menyambutnya sebagai momentum penting. Tapi jika hanya rebranding tanpa transformasi praktik di lapangan, maka 334 pasal itu bisa jadi hanya tumpukan kertas tanpa nyawa hukum.
Kini saatnya publik ikut mengawal:
Apakah RUU KUHAP akan menjadi pondasi baru keadilan, atau hanya kosmetik regulasi belaka?***





















