SETIAP manusia punya tekanan hidup—tagihan menumpuk, relasi yang memburuk, pekerjaan yang tidak pasti, atau sekadar rasa takut akan masa depan.
Tapi ketika beban itu tidak lagi hanya membebani pikiran, melainkan menjalar ke tubuh, kita baru menyadari: stres bisa membakar kita dari dalam.
Salah satu “korban pertama” dari kecemasan adalah lambung. Makin hari, makin banyak orang muda mengeluhkan perut perih, mual, dan sesak—lalu diagnosa itu datang: GERD (Gastroesophageal Reflux Disease), sebuah kondisi medis akibat naiknya asam lambung ke kerongkongan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak yang terkejut, karena penyebabnya tak selalu makanan pedas atau kopi, tapi pikiran yang tak pernah tenang.
Saat Pikiran Menyerang Tubuh
Secara medis, memang tidak ada bukti bahwa pikiran bisa langsung “menyembuhkan” GERD. Namun, stres terbukti memperburuk gejalanya.
Tubuh yang tegang, napas yang pendek, dan tidur yang tak nyenyak menciptakan lingkungan ideal bagi lambung untuk “memberontak”.
“We suffer more often in imagination than in reality.”
— Seneca
(“Kita lebih sering menderita karena imajinasi dibandingkan kenyataan.”)
Di sinilah muncul pertanyaan: bagaimana kita menghadapi tekanan hidup, agar tidak terus menghancurkan tubuh sendiri?
Stoikisme: Obat untuk Pikiran, Bukan Lambung
Mungkin jawabannya bukan di lemari obat, tetapi di lemari buku filsafat. Salah satunya: Stoikisme.
Filsafat kuno yang kini dipopulerkan kembali oleh generasi digital, bukan sekadar lewat kutipan Marcus Aurelius atau Epictetus di Instagram, tapi sebagai alat kelola stres yang praktis.
Stoikisme mengajarkan satu prinsip penting: bedakan mana yang bisa kau kendalikan, dan mana yang tidak. Kita tidak bisa menghindari cobaan hidup, tapi kita bisa memilih bagaimana menyikapinya.
Saat kita berhenti bertarung dengan hal-hal yang tak bisa kita ubah, beban mental bisa berkurang. Dan ketika pikiran menjadi lebih damai, tubuh pun mungkin akan ikut bernapas lega.
“You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.”
— Marcus Aurelius
(“Kamu punya kuasa atas pikiranmu—bukan atas peristiwa di luar dirimu. Sadarilah ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.”)
Kita tak bisa mencegah seluruh tekanan hidup: kehilangan, kegagalan, konflik, dan kecemasan akan masa depan.
Tapi kita bisa mengubah reaksi kita. Dalam Stoikisme, emosi tidak ditolak, tetapi dikelola. Pikiran dijinakkan. Respon dilatih. Kesadaran diasah.
Tapi Ingat: Filosofi Bukan Pengganti Terapi
Namun penting untuk digarisbawahi: Stoikisme bukan pengganti pengobatan medis. GERD tetap membutuhkan penanganan dari dokter: perubahan pola makan, pengaturan posisi tidur, menjaga berat badan, dan mungkin konsumsi obat-obatan penurun asam lambung. Filosofi bukan sulap.
Tapi ia bisa menjadi penopang kesadaran, agar kita tidak panik, tidak putus asa, dan tetap rasional menghadapi penyakit.
“It’s not what happens to you, but how you react to it that matters.”
— Epictetus
(“Bukan apa yang terjadi padamu yang paling penting, tapi bagaimana kamu meresponsnya.”)
Hidup Sehat Dimulai dari Ketegaran Mental
Kita hidup di tengah zaman yang memicu kecemasan nyaris tanpa jeda. Target hidup yang menekan, tuntutan sosial media, ketidakpastian ekonomi, hingga relasi yang rapuh membuat stres hadir nyaris setiap hari.
Tak jarang, tekanan itu tak hanya mengendap di pikiran, tapi ikut menekan lambung.
Kecemasan hidup tidak akan pernah benar-benar hilang. Tapi kita bisa memperkuat diri untuk menghadapinya. Entah lewat terapi, olahraga, komunitas sehat, atau, seperti banyak orang mulai lakukan hari ini, mengadopsi nilai-nilai Stoikisme dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi jika perutmu mulai terbakar dan dadamu sesak, cobalah bukan hanya menakar kadar asam lambungmu—tapi juga kadar kecemasan dan keteguhan batinmu.
Karena sering kali, tubuh hanya sedang berusaha memberi tahu:
“Ada sesuatu di pikiranmu yang perlu kau hadapi.”.***