Bandung, Mevin.ID – Dalam momen Shalat Idul Fitri 1446 Hijriah di Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan pidato yang penuh emosi tentang pentingnya empati dalam kepemimpinan. Ia menegaskan bahwa tugas seorang pemimpin bukan hanya berbicara, tetapi juga bertindak nyata demi kesejahteraan rakyat.
“Empati harus diwujudkan melalui tanggung jawab terhadap delapan asnaf yang setiap tahun kita santuni melalui zakat, infak, dan sedekah,” ujar Dedi Mulyadi dengan suara bergetar.
Ia juga menyoroti peran aparatur negara dalam memastikan keamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Menurutnya, distribusi anggaran harus adil dan berpihak kepada rakyat, sebagaimana dicontohkan pada zaman Rasulullah SAW.
“Dulu, zakat menjadi instrumen utama pengelolaan negara yang diatur oleh Baitul Mal. Kini, kita memiliki dua sumber anggaran: Baznas yang mengelola zakat dan negara yang mengelola APBN serta APBD. Namun, mengapa keadilan belum sepenuhnya terwujud?” tanyanya.
Dalam pidatonya yang penuh refleksi, Dedi Mulyadi mengkritisi banyaknya pungutan di Indonesia yang melebihi negara lain, tetapi masih banyak rakyat yang kesulitan mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Ia mengajak para penyelenggara negara untuk lebih memahami Islam secara menyeluruh dan mengutamakan pengelolaan anggaran demi kesejahteraan rakyat.
“Keislaman seorang pemimpin tidak diukur dari seringnya umrah atau pakaian religius yang dikenakan, tetapi dari senyum rakyatnya. Rakyat yang mendapatkan pendidikan dengan mudah, akses kesehatan yang memadai, dan kebutuhan hidup yang layak,” tegasnya.
Gubernur menegaskan bahwa kegagalan seorang pemimpin terlihat dari masih banyaknya pengemis di jalan, anak-anak yatim yang tidak sekolah, orang miskin yang kehilangan tempat tinggal, hingga korban pinjaman online ilegal yang semakin banyak.
“Kehinaan bagi seorang pemimpin adalah jika masih ada rakyat yang tidak bisa membawa pulang jenazah keluarganya karena biaya rumah sakit, bayi yang tertahan karena belum bisa membayar, atau anak-anak yang hanya makan dengan garam karena kemiskinan yang tak tertangani,” ungkapnya dengan nada penuh keprihatinan.
Ia mengajak seluruh pemimpin di Jawa Barat untuk menjadikan 1 Syawal 1446 H sebagai momentum kesadaran kolektif. Menurutnya, ritual keagamaan yang tinggi harus dibarengi dengan tindakan nyata bagi masyarakat miskin dan kaum dhuafa.
“Jihad kita hari ini bukan hanya menahan hawa nafsu, tetapi juga memastikan anggaran benar-benar digunakan untuk rakyat. Kita harus mengorbankan ego dan kepentingan pribadi demi kepentingan masyarakat luas,” katanya.
Dedi Mulyadi juga membandingkan bagaimana pemerintah kolonial Belanda mampu membangun infrastruktur yang masih kokoh hingga kini, sementara bangsa sendiri masih menghadapi tantangan dalam pengelolaan sumber daya.
“VOC mampu membangun jalan, bendungan, dan gedung berkualitas dengan mengandalkan perkebunan teh dan kina. Namun, mengapa kita yang mengklaim sebagai pribumi justru tidak mampu mengelola perkebunan kita sendiri?” tanyanya.
Ia menutup pidatonya dengan mengajak seluruh pemimpin di Jawa Barat untuk meninggalkan egoisme dan kesombongan, serta bersujud memohon ampunan kepada Allah SWT. Ia juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas kekurangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam layanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan publik.
“Semoga 1 Syawal 1446 H menjadi titik balik bagi kita untuk memperbaiki kebijakan dan lebih berpihak kepada rakyat,” pungkasnya.***





















