Sampah Versus Iman

- Redaksi

Minggu, 26 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DELAPAN puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Negeri ini dikenal sebagai negara besar dengan sumber daya alam melimpah, jumlah perguruan tinggi yang banyak, dan cendekiawan yang luar biasa.

Namun, di tengah semua capaian itu, ada satu persoalan yang tidak kunjung selesai: sampah. Dari kota besar hingga desa kecil, tumpukan sampah menjadi pemandangan sehari-hari.

Sungai-sungai dipenuhi plastik, pasar dan permukiman dikepung aroma busuk, dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah seperti gunung buatan manusia.

Ironisnya, di negeri yang memiliki universitas hebat seperti UGM, ITB, ITS, UNDIP, dan banyak lagi, belum ada satu pun solusi komprehensif dan berkelanjutan untuk persoalan sampah.

Seolah-olah persoalan sampah hanya urusan petugas kebersihan dan dinas lingkungan, bukan urusan iman dan tanggung jawab moral kita sebagai warga negara dan manusia berakal.

Sampah sejatinya bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah moral dan iman. Dalam ajaran agama, kebersihan adalah bagian dari iman.

Namun, mengapa negeri yang mayoritas penduduknya beragama justru menjadi salah satu penghasil sampah terbesar di dunia?

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan lebih dari 68 juta ton sampah per tahun, dan sekitar 40% di antaranya tidak terkelola dengan baik.

Setiap orang Indonesia rata-rata menghasilkan 0,7 kilogram sampah per hari — sebagian besar berupa plastik sekali pakai yang mencemari laut dan sungai.

PLTSa dan Ilusi Teknologi

Persoalan utama kita bukan pada teknologi pengelolaan sampah, melainkan pada kesadaran dan tanggung jawab.

Banyak inovasi telah dicoba — mulai dari bank sampah, daur ulang, hingga proyek besar Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) — namun semua itu belum menjawab akar masalah.

Pemerintah tampak lebih sibuk membangun proyek besar yang mahal dan berorientasi investasi, ketimbang membangun kesadaran publik.

Padahal, membakar sampah di insinerator tanpa proses pemilahan bukan hanya tidak ramah lingkungan, tapi juga bisa menimbulkan polusi udara dan emisi berbahaya bagi kesehatan. Sampah yang dibakar tanpa memilah antara organik, anorganik, dan B3 sama saja dengan mempercepat kerusakan lingkungan, bukan menyelesaikan masalahnya.

Persoalan sampah sejatinya adalah soal iman sosial — iman yang mendorong kita untuk jujur, disiplin, dan peduli terhadap sesama dan bumi. Bila iman itu hidup, tak akan ada yang tega membuang sampah ke sungai, atau membiarkan tumpukan sampah di jalan tanpa rasa bersalah.

Kita memerlukan perubahan paradigma: dari sekadar mengelola sampah menuju mengelola kesadaran.

Ketika seseorang menolak plastik sekali pakai, memilah sampah rumah tangga, atau mengelola limbah dengan bijak, ia sedang menjalankan ibadah sosial. Ia sedang menjaga ciptaan Tuhan.

Dalam Islam, manusia disebut khalifah fil ardh — pemelihara bumi. Maka, membuang sampah sembarangan sejatinya bentuk pengkhianatan terhadap amanah itu.

Sudah saatnya para tokoh agama, ulama, dan lembaga keagamaan menjadikan isu sampah sebagai bagian dari dakwah ekologis. Mimbar masjid, altar gereja, dan podium sekolah harus menjadi ruang penyadaran bahwa menjaga kebersihan bumi adalah bagian dari iman.

Sampah adalah cermin diri kita. Semakin banyak sampah, semakin banyak pula kemalasan, ketidakpedulian, dan lemahnya iman sosial.

Sebaliknya, ketika iman benar-benar menyala dalam perilaku, maka bumi akan lebih bersih, sungai lebih jernih, dan udara lebih sehat.

Indonesia tidak kekurangan teknologi, tidak kekurangan ahli, tetapi mungkin kita sedang kekurangan iman yang berperilaku ekologis. Dan mungkin, itulah akar dari semua tumpukan sampah yang masih menggunung hingga hari ini.***

Dadang Sudardja​​​​​​, Ketua LPBI NU Jawa Barat; Ketua Dewan Nasional WALHI 2012–2016; Direktur Yayasan Sahabat Nusantara

Daftar Pustaka

  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 2024. Statistik Pengelolaan Sampah Nasional.
  • Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). 2023. Laporan Tahunan Lingkungan dan Sampah Perkotaan.
  • World Health Organization (WHO). 2023. Health and Environmental Impacts of Waste Burning. 
  • Greenpeace Indonesia. 2024. Krisis Sampah Plastik dan Kebijakan PLTSa di Indonesia.

 

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Pendidikan Kebencanaan Sejak Usia Dini: Belajar dari Jepang, Menyelamatkan Generasi Indonesia
Inggit Garnasih: Perempuan Sunyi yang Menopang Lahirnya Kemerdekaan
Agama dan Dosa Atas Nama Sakral: Sebuah Refleksi Kritis dari Kartini
Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam
Longsor Cilacap, Pelajaran Berharga Soal Literasi Kebencanaan
Sandiwara Keadilan: Refleksi Ironi Korup dalam Sistem Kekuasaan
Harga Diri dan Kebebasan dalam Kesendirian: Menyelami Kebijaksanaan Socrates
Ketika Kota Bicara Lewat Gunungan Sampah

Berita Terkait

Senin, 17 November 2025 - 14:08 WIB

Pendidikan Kebencanaan Sejak Usia Dini: Belajar dari Jepang, Menyelamatkan Generasi Indonesia

Senin, 17 November 2025 - 13:26 WIB

Inggit Garnasih: Perempuan Sunyi yang Menopang Lahirnya Kemerdekaan

Senin, 17 November 2025 - 12:36 WIB

Agama dan Dosa Atas Nama Sakral: Sebuah Refleksi Kritis dari Kartini

Minggu, 16 November 2025 - 14:39 WIB

Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam

Minggu, 16 November 2025 - 14:13 WIB

Longsor Cilacap, Pelajaran Berharga Soal Literasi Kebencanaan

Berita Terbaru