Serang, Mevin.ID – Langit belum benar-benar siang saat ratusan warga Badui Dalam memulai langkah panjang mereka dari kaki Gunung Kendeng di Rangkasbitung menuju Kota Serang. Tidak dengan kendaraan, tidak pula dengan alas kaki. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka berjalan kaki menempuh 40 kilometer, membawa persembahan: talas, pisang, gula aren, laksa, hingga sayuran iris.
Perjalanan itu bukan sekadar ritual. Bagi masyarakat Badui, Seba adalah amanah leluhur.
“Kami lakukan ini sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi dan menjalankan perintah leluhur. Jika ditinggalkan, bisa jadi malapetaka,” kata Saidi Putra, Jaro Tanggungan 12, tokoh adat Badui.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Seba Gede 2025: 1.769 Jiwa, Dua Warna, Satu Niat
Tahun ini, perayaan Seba termasuk dalam kategori Seba Gede—Seba besar—karena melibatkan 1.769 warga Badui. Badui Dalam mengenakan putih dengan ikat kepala putih (lomar), sementara Badui Luar mengenakan hitam dan ikat kepala biru.
Warga Badui Luar naik kendaraan dari Rangkasbitung ke Serang, namun warga Badui Dalam tetap setia berjalan kaki, seperti yang diajarkan para karuhun. Tidak ada kompromi, karena menggunakan kendaraan dianggap menyalahi adat.
Sesampainya di Kota Serang, mereka disambut Gubernur Banten Andra Soni dalam prosesi malam puncak Seba bersama para pejabat Muspida. Di Gedung Negara Provinsi, hasil bumi diserahkan secara simbolis sebagai tanda syukur dan loyalitas terhadap pemimpin wilayah.
Tradisi yang Mengikat Manusia dan Alam
Seba bukan sekadar seremoni budaya. Di balik pisang dan gula aren yang dibawa, ada nilai yang lebih besar: keseimbangan manusia dan alam.
“Kami hidup dari ladang. Kalau alam rusak, panen gagal, bencana datang,” ujar Saidi.
Di pemukiman Badui yang masih hijau dan terjaga, prinsip “gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak” (gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak) bukan sekadar slogan—melainkan hukum tak tertulis yang ditaati turun-temurun oleh 15 ribu lebih warga Badui.
Mereka tak menebang hutan sembarangan, tak membuka kebun di zona larangan, tak menambang atau menggali batu. Seba adalah pengingat bahwa menjaga alam adalah bentuk ibadah, bukan pilihan.
Dalam Seba, Kita Melihat Masa Depan
Sementara dunia modern terus bergerak cepat, Seba Badui mengajak kita melihat ulang apa arti kemajuan. Barangkali bukan pada gedung-gedung tinggi atau kendaraan cepat, tetapi pada kaki yang rela menempuh 40 kilometer demi menghormati warisan yang membuat hidup tetap selaras.
Dan malam itu, di bawah lampu Gedung Negara, ketika persembahan hasil bumi diserahkan dengan tangan terbuka, terlihat jelas: Seba bukan milik masa lalu. Ia adalah masa depan yang ditenun oleh kearifan yang nyaris terlupakan.***