Sekolah Swasta: Di Antara Ladang Amal dan Lahan Dagang

- Redaksi

Sabtu, 19 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DI BALIK megahnya bangunan sekolah, rapihnya seragam siswa, dan jargon-jargon pendidikan yang mentereng, ada satu pertanyaan mendasar yang patut kita ajukan: untuk siapa dan untuk apa sekolah swasta itu sebenarnya didirikan?

Secara historis, sekolah swasta hadir sebagai pelengkap—bahkan penyelamat—di tengah keterbatasan kapasitas sekolah negeri.

Motif pendiriannya pun beragam: mulai dari kepedulian sosial, semangat pengabdian, misi keagamaan sebagai bentuk investasi akhirat, hingga motif ekonomi.

Namun di era sekarang, motif yang terakhir ini justru makin dominan: sekolah sebagai kendaraan bisnis yang ujung-ujungnya memperkaya individu, keluarga, atau kelompok tertentu.

Dalam praktiknya, tak sedikit sekolah swasta yang sejak awal berdiri bergantung pada bantuan—baik dari masyarakat, donatur, maupun subsidi pemerintah.

Mereka mengetuk banyak pintu demi mendapatkan dana, lahan, hingga perlengkapan operasional. Namun begitu sekolah berkembang—murid bertambah, biaya membengkak, fasilitas dibangun megah—orientasi pun bergeser. Idealisme pendidikan mulai dikalahkan oleh aroma profit.

Yang lebih ironis, banyak sekolah seperti ini akhirnya menjelma menjadi “perusahaan keluarga”. Jabatan penting diisi oleh kerabat, pengelolaan keuangan tertutup, dan keuntungan lembaga lebih banyak berputar di lingkaran dalam pendiri yayasan.

Sekolah bukan lagi rumah ilmu, melainkan pabrik uang.

Padahal, sebagai lembaga pendidikan yang tetap menerima subsidi pemerintah—seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Khusus (DAK), bahkan hibah tanah—seharusnya sekolah-sekolah ini tunduk pada prinsip akuntabilitas dan transparansi. Namun, siapa yang mengawasi? Siapa yang berani mengungkap?

Fenomena ini bukan cerita tunggal. Dari kota besar hingga desa kecil, pola yang sama terus berulang. Ketika niat mendidik bergeser menjadi niat berdagang, nilai-nilai pendidikan tak lagi menjadi prioritas—atau bahkan terbuang sama sekali.

Lihat saja bagaimana respons sebagian sekolah swasta pada musim Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini.

Ketika pemerintah memperluas kuota sekolah negeri demi memastikan tidak ada anak bangsa yang putus sekolah, justru muncul keluhan dari sekolah swasta yang merasa kekurangan murid.

Yang bersuara keras, umumnya adalah sekolah-sekolah yang menjadikan siswa sebagai sumber pendapatan utama. Mereka tak lagi bicara soal mutu pendidikan, tetapi soal pemasukan yang menurun.

Tentu tidak adil jika kita menggeneralisasi. Masih banyak sekolah swasta yang berdiri di atas niat tulus—untuk mencerdaskan bangsa, menyebarkan nilai-nilai moral, dan memberi harapan pada generasi muda.

Sekolah-sekolah ini bertahan dengan segala keterbatasan, tanpa kehilangan komitmen pada esensi pendidikan yang sejati.

Namun sayangnya, suara mereka tenggelam oleh praktik tak etis sebagian pihak yang menjadikan institusi pendidikan sebagai topeng untuk mengejar keuntungan pribadi.

Kini saatnya semua pihak membuka mata.

Masyarakat perlu lebih kritis dan selektif dalam memilih sekolah, tak hanya melihat gedung dan gengsi, tetapi juga integritas dan nilai yang ditanamkan.

Pemerintah harus hadir secara aktif—tidak hanya dalam memberi bantuan, tapi juga dalam mengontrol dan menindak jika terjadi penyimpangan.

Dan yang paling penting, para pendiri sekolah seharusnya bercermin: apakah sekolah yang Anda bangun benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa, atau hanya mencetak keuntungan di balik nama pendidikan?

Jika pendidikan adalah ladang amal, mengapa panennya hanya dinikmati segelintir orang?

Jika sekolah adalah rumah masa depan, mengapa dikelola seperti toko keluarga?

Pertanyaan-pertanyaan ini tak bisa terus dibiarkan menggantung. Jawabannya bukan pada slogan—tetapi pada nurani.-***

DR. Deden Sukirman, MMPemerhati Pendidikan tinggal di Bandung

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi
Api di Balik Tembok Sekolah
Kebijaksanaan Tuan Rumah di Era Cepat: Relevansi Confucius tentang Masalah sebagai Tamu di Dunia Modern
Kritik Anies Soal Whoosh dan “Warga +62” yang Tak Lupa
Menempa Nasib di Panggangan Kebiasaan: Refleksi Filsafat Aristoteles
Bayangan Kebahagiaan: Menemukan Sumber Sejati dalam Pikiran yang Jernih
Dua Burung dan Empat Sayap yang Lumpuh: Pelajaran Kebebasan Sejati dari Rumi
Bandung dan Lingkaran Korupsi?

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 19:46 WIB

Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Sabtu, 8 November 2025 - 09:31 WIB

Api di Balik Tembok Sekolah

Jumat, 7 November 2025 - 23:33 WIB

Kebijaksanaan Tuan Rumah di Era Cepat: Relevansi Confucius tentang Masalah sebagai Tamu di Dunia Modern

Jumat, 7 November 2025 - 21:48 WIB

Kritik Anies Soal Whoosh dan “Warga +62” yang Tak Lupa

Jumat, 7 November 2025 - 19:38 WIB

Menempa Nasib di Panggangan Kebiasaan: Refleksi Filsafat Aristoteles

Berita Terbaru

Humaniora

Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Sabtu, 8 Nov 2025 - 19:46 WIB

Selebgram Lisa Mariana (tengah) menemui awak media di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (7/8/2025). ANTARA/Nadia Putri Rahmani

Entertaintment

Lisa Mariana dan Rekan Pria Jadi Tersangka Kasus Video Syur

Sabtu, 8 Nov 2025 - 19:46 WIB