KETIKA Iran mengancam menutup Selat Hormuz, sebagian dari kita mungkin mengira itu urusan negara lain—jauh, asing, dan tidak menyentuh dapur rumah kita.
Tapi kenyataannya, justru dari selat itu masa depan ekonomi Indonesia sedang digantungkan.
Selat Hormuz bukan sekadar jalur laut. Ia adalah nadi vital dunia, pengangkut 20% pasokan minyak global.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dan Indonesia—sebagai negara yang mengimpor lebih dari 50% kebutuhan minyak dan LPG-nya—adalah salah satu pasien paling rentan jika nadi itu tersumbat.
Saat Dunia Panik, Indonesia Goyang
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah membuat harga minyak mentah melonjak, dan bayang-bayang $150 per barel kini tak lagi sekadar simulasi.
Jika itu terjadi, Indonesia tidak punya banyak opsi: menaikkan harga BBM, atau menambah subsidi dengan membakar APBN. Keduanya menyakitkan.
Pilihan pertama, akan langsung menghantam daya beli rakyat. Pilihan kedua, akan menggembosi anggaran negara dan mempersempit ruang fiskal untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Sementara itu, di dalam negeri, pasar lesu. Pedagang ritel mengeluh, pusat perbelanjaan sepi, usaha kecil megap-megap. Video-video di TikTok dan Instagram menggambarkan toko-toko yang lebih mirip gudang kosong daripada tempat jual beli.
Ekonomi riil sedang gemetar. Dan kabar dari Hormuz bisa membuatnya runtuh.
Ini Bukan Salah Iran. Ini Salah Kita yang Terlalu Bergantung
Masalah utamanya bukan semata ancaman Iran. Masalah kita adalah ketergantungan akut terhadap energi fosil impor tanpa cadangan nasional yang memadai. Kita tahu ini sejak dulu. Tapi kita lamban, bahkan apatis.
Kita tak pernah punya strategi energi yang tangguh menghadapi disrupsi global. Kilang tua, distribusi tambal sulam, dan transisi energi terkesan formalitas—bukan urgensi.
Pemerintah mestinya sudah punya protokol darurat energi nasional, bukan sekadar berharap harga dunia tak naik.
Mengapa kita tidak membangun cadangan strategis? Mengapa program transisi ke energi terbarukan tidak menjadi prioritas anggaran, melainkan angin lalu?
Di Tengah Ketidakpastian, Negara Tak Boleh Goyah
Bank Dunia menyebut situasi ini lebih tidak pasti dibanding COVID-19. Tapi saat itu, kita melihat negara bergerak cepat, masyarakat bersatu, dan kebijakan dijalankan dengan kesadaran darurat.
Hari ini, darurat itu kembali—tapi bentuknya lebih kompleks: ekonomi, energi, dan geopolitik menyatu dalam kabut ketidakpastian.
Jika pemerintah tak bertindak antisipatif hari ini, maka rakyat akan menanggung akibatnya esok hari. Dan saat itu tiba, tidak cukup hanya menyalahkan harga global.
Dunia boleh berperang, tapi jangan sampai rakyat kita ikut jadi korban karena negara tak punya rencana. Saatnya Indonesia mengumumkan darurat energi nasional—bukan sebagai reaksi, tapi sebagai strategi bertahan.***
Penulis : Bar Bernad