“If you are ever tempted to feel alone… remember: you are part of a larger whole.”
— Marcus Aurelius, Meditations
Pernahkah kamu merasa sendiri, bahkan saat berada di tengah keramaian?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Rasa sepi yang datang bukan karena tidak ada orang lain, tapi karena tidak ada yang benar-benar mengerti isi hati. Di zaman serba terhubung seperti sekarang, ironi ini justru semakin terasa tajam.
Dalam filsafat Stoikisme, kesendirian bukanlah kutukan—melainkan kesempatan. Kesempatan untuk kembali ke dalam diri, menata ulang harapan, dan menyadari bahwa sumber kekuatan sejati bukan datang dari luar, tapi dari bagaimana kita merespons dunia.
Hidup Itu Dalam Kendalimu
Filsuf Stoik seperti Epictetus mengajarkan bahwa ada dua jenis hal dalam hidup: hal-hal yang ada dalam kendali kita, dan yang tidak.
Perasaan sendiri mungkin muncul karena kita berharap orang lain hadir, peduli, atau memahami. Tapi ketika harapan itu tak terpenuhi, hati kita merasa kosong.
Padahal, yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita menyikapi rasa sepi itu sendiri.
“Jangan minta dunia berubah. Ubah dirimu, maka dunia akan menyusul.”
— Epictetus
Stoikisme mengajak kita mengubah cara pandang: bukan “kenapa aku sendiri?”, tapi “apa yang bisa kupelajari dari kesendirian ini?”
Sendiri adalah Sekolah Jiwa
Seneca, penulis Stoik lain, menulis surat panjang kepada temannya tentang pentingnya menarik diri dari keramaian.
Baginya, menyendiri adalah latihan mental. Di saat sunyi, kita bisa bertemu dengan siapa diri kita sebenarnya—tanpa topeng sosial, tanpa kebutuhan validasi.
“He is never alone who is accompanied by noble thoughts.”
— Seneca
Artinya, ketika kita sendiri, kita tidak perlu merasa sepi jika pikiran kita dipenuhi nilai-nilai yang baik. Stoikisme menyarankan agar kita menyibukkan diri bukan dengan kekhawatiran, tapi dengan refleksi, tindakan berbudi, dan kesadaran akan jati diri.
Kosong Itu Bisa Diisi Makna
Stoik tidak menyuruh kita menghindari emosi. Justru sebaliknya—mereka mengajak kita mengakui perasaan seperti kesedihan atau kesepian, lalu menanganinya dengan nalar dan kebajikan. Mereka percaya bahwa kita bisa memilih untuk tidak dikuasai oleh perasaan itu.
Kesendirian, bila kita mau, bisa menjadi ruang tumbuh. Ia mengajari kita untuk kuat tanpa bergantung, untuk damai tanpa penghiburan eksternal, dan untuk mencintai hidup apa adanya.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan ketika merasa sendiri?
- Berhenti mencari pelarian. Hadapi sepi seperti kita menghadapi sahabat lama.
- Tuliskan isi pikiran, seperti yang dilakukan Marcus Aurelius dalam Meditations—catatan pribadinya yang kemudian jadi warisan dunia.
- Berbuat baik, sekecil apa pun. Stoik percaya bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang berguna.
- Sadari bahwa kamu bagian dari alam semesta. Kamu bukan serpihan yang tersesat. Kamu adalah bagian dari tatanan yang lebih besar.
Kesendirian bisa jadi tempat sunyi yang menyakitkan. Tapi bagi jiwa yang terlatih, ia adalah taman untuk menumbuhkan keteguhan.***
Penulis : Bar Bernad