LUCIUS Annaeus Seneca, seorang filsuf Stoik, negarawan, dan penulis drama pada masa Kekaisaran Romawi, telah mengajarkan kepada kita bahwa hidup yang baik adalah persiapan untuk kematian yang baik.
Ironisnya, ajaran filosofisnya diuji secara ekstrem oleh takdirnya sendiri: pada tahun 65 M, Seneca dipaksa bunuh diri oleh bekas muridnya yang semakin tirani, Kaisar Nero.
Kematian Seneca bukan sekadar akhir tragis dari seorang tokoh politik, melainkan sebuah pertunjukan agung dari filosofi yang telah ia yakini seumur hidup.
Kematian Sebagai “Hukum Alam”
Inti dari pandangan Stoik Seneca mengenai kematian adalah penerimaan. Dalam surat-suratnya yang terkenal, Epistulae Morales ad Lucilium, dan risalah seperti Ad Marciam, De Consolatione, Seneca menegaskan bahwa kematian adalah lex naturae (hukum alam), sebuah kepastian yang sudah terikat pada kita sejak kita dilahirkan.
Ia menulis, “Kematian bukanlah hal yang perlu ditakuti, karena ia adalah bagian dari alam seperti kelahiran.”
Bagi Seneca, ketakutan terbesar bukanlah pada kematian itu sendiri, tetapi pada hidup yang belum diisi.
“Orang-orang terlalu sibuk menghindari kematian, sampai mereka lupa bagaimana caranya hidup,” tulisnya.
Hidup menjadi terasa singkat (on the shortness of life) bukan karena umur yang pendek, tetapi karena kita menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang tidak penting—mengejar kekayaan, pengakuan sosial, atau terjebak dalam kecemasan.
Oleh karena itu, persiapan untuk mati bukanlah ritual mistis, tetapi tindakan memaksimalkan kebajikan dan kesadaran di setiap momen hidup.
Hanya jika kita hidup dengan sungguh-sungguh, dengan memanfaatkan waktu untuk menjadi diri kita sendiri, kita bisa menghadapi ajal tanpa penyesalan.
Panggung Terakhir Sang Stoik: Eksekusi Diri oleh Nero
Seneca menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai penasihat terdekat dan guru privat Kaisar Nero.
Sebuah posisi yang menempatkannya di pusat intrik dan kekejaman politik Romawi. Pada tahun 65 M, ia dituduh terlibat dalam Konspirasi Piso, sebuah plot untuk membunuh Nero.
Meskipun kecil kemungkinan Seneca benar-benar bersekongkol, bagi Nero, ini adalah alasan yang cukup untuk menyingkirkan gurunya.
Nero mengirim perintah: Seneca harus bunuh diri.
Saat perintah itu tiba, Seneca menyambutnya dengan ketenangan yang luar biasa. Ia tidak memohon, tidak mengeluh, dan tidak menunjukkan kepanikan. Ia justru menggunakan momen terakhirnya untuk mempraktikkan filosofi yang telah ia ajarkan.
Menurut sejarawan Tacitus, Seneca mencoba bunuh diri dengan memotong beberapa nadinya, tetapi karena usianya yang lanjut dan kondisi fisik yang lemah, darahnya mengalir lambat.
Untuk mempercepat kematiannya, ia pergi ke pemandian air hangat—bukan untuk bersenang-senang, tetapi agar pembuluh darahnya terbuka dan darahnya mengalir lebih cepat—sambil terus bercerita kepada teman-temannya yang menangis tentang filsafat kehidupan dan pentingnya keberanian.
Cara kematiannya ini, yang digambarkan dengan tenang di tengah kengerian, adalah manifestasi tertinggi dari prinsip Stoik: mengendalikan apa yang dapat dikendalikan (sikap dan pikiran internal) dan menerima apa yang tak terhindarkan (kematian sebagai takdir eksternal).
Warisan Kematian yang Memberi Hidup
Kematian Seneca adalah pelajaran hidup yang lebih kuat daripada ribuan suratnya. Ia menunjukkan bahwa kebijaksanaan sejati bukanlah tentang melarikan diri dari akhir, tetapi tentang menghadapinya dengan martabat dan tanpa ketakutan.
Bagi kita yang hidup di dunia modern, ajaran Seneca tetap relevan: tragedi sejati bukanlah kematian yang datang, tetapi kematian yang datang saat kita belum benar-benar hidup.
Kematian, bagi Seneca, adalah gerbang yang menanti kita semua, dan cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan memastikan bahwa ketika ia tiba, ia akan menemukan kita dalam keadaan yang penuh makna, puas, dan bebas dari belenggu.***
– Serial Filsafat –





















