Senyum di Balik Keterbatasan: Kisah Kakek Bardi dan Kopi Syukur

- Redaksi

Minggu, 26 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PAGI ITU, udara masih dingin dan jalan desa belum ramai. Di sudut sebuah warung kopi sederhana—bangkunya kayu, dindingnya setengah papan—Risa duduk sendirian sambil menatap gelas kopi yang masih mengepul.

Jam baru menunjukkan pukul tujuh, tapi pikirannya sudah penuh sesak oleh daftar pekerjaan, target hidup, dan harapan-harapan yang terasa semakin jauh.

Dari seberang jalan, tampak sosok Kakek Bardi datang dengan langkah pincang. Di pundaknya tergantung sebundel koran yang diikat tali rafia.

Meski wajahnya dipahat oleh usia, garis senyumnya tetap ringan dan tulus, seperti cahaya yang tak pernah padam.

Risa: “Selamat pagi, Kek Bardi! Kopi pahit seperti biasa?”

Kakek Bardi tertawa kecil. Suaranya serak, tapi hangat, seperti suara radio tua yang tetap membawa kabar baik.

Kakek Bardi: “Ah, pagi yang cerah, Nona Risa. Tentu kopi pahit. Pahit itu mengingatkan kita bahwa hidup harus dinikmati apa adanya.”

Risa hanya tersenyum samar. Ada awan gelap di matanya, dan Kakek Bardi bisa melihatnya.

Kakek Bardi: “Nona Risa, kenapa wajahnya seperti awan sebelum hujan? Hati sedang berat?”

Risa terdiam sejenak, menunduk.

Risa: “Entahlah, Kek. Perasaan ini… seperti selalu kurang. Pekerjaan sudah, keluarga baik, teman ada. Tapi bahagia itu rasanya jauh sekali. Seperti bayangan yang tidak pernah bisa diraih.”

Kakek Bardi meletakkan tumpukan korannya di bangku. Ia duduk perlahan, menarik napas panjang, seolah mengingat sesuatu yang ia simpan lama dalam hatinya.

Kakek Bardi: “Nona Risa, banyak orang mencari bahagia seperti mencari barang yang hilang. Padahal bahagia itu bukan benda. Bahagia itu rasa. Dan rasa itu tumbuh dari apa yang kita pandang.”

Risa mengerutkan kening.

Risa: “Maksud Kakek?”

Kakek Bardi menepuk dadanya, tepat di bagian hati.

Kakek Bardi: “Di sini rumahnya bahagia. Dan pintunya bernama syukur.”

Ia tersenyum pelan sebelum melanjutkan.

Kakek Bardi: “Lihat Kakek, kaki ini sudah tidak sempurna. Pernah kecelakaan waktu mengantar koran. Rezeki Kakek sederhana, makan seadanya. Tapi setiap pagi, Tuhan masih bangunkan Kakek. Itu hadiah yang tidak semua orang terima.”

Risa terdiam. Ada sesuatu yang terasa menampar lembut.

Kakek Bardi: “Nona tahu, orang miskin bukanlah mereka yang tak punya banyak. Tapi mereka yang tak pernah merasa cukup. Sedangkan orang kaya, adalah mereka yang menikmati apa yang ada, sekecil apa pun itu.”

Ia menyesap kopi pahitnya perlahan. Uapnya naik, lembut, seperti kabut pagi yang enggan pergi.

Kakek Bardi: “Bersyukur itu bukan karena keadaan kita baik. Tapi keadaan kita menjadi baik karena kita bersyukur. Syukur itu membersihkan hati, Nona. Menghapus iri, mengubah sempit menjadi lapang.”

Risa mengangkat wajah. Senyum kecil muncul—senyum yang sebenarnya sudah lama hilang dari dirinya.

Risa: “Jadi saya harus belajar menikmati yang kecil-kecil dulu, ya, Kek?”

Kakek Bardi: “Betul sekali. Mulai dari udara yang Nona hirup, hangat matahari pagi, tawa orang yang Nona sayangi… atau secangkir kopi yang menemani kepala yang riuh.”

Kakek Bardi bangkit pelan, merapikan korannya.

Kakek Bardi: “Besok, Nona datang lagi. Tapi jangan hanya bawa keresahan. Bawa tiga hal kecil yang Nona syukuri hari ini. Kita minum kopi sambil mendengarnya.”

Langkah Kakek Bardi tetap pincang, tapi kini Risa melihatnya berbeda—bukan sebagai tanda kekurangan, melainkan sebagai jejak perjuangan yang diterima dengan damai.

Dan di warung kecil itu, secangkir kopi pahit terasa lebih manis dari biasanya.

***

Dalam perjalanan pulang, Risa berjalan pelan, seolah tiap langkahnya kini lebih ringan. Ia menyadari bahwa selama ini ia mengejar kebahagiaan seperti mengejar bayangan: semakin dikejar, semakin menjauh.

Tapi lewat kopi pahit dan senyum sederhana Kakek Bardi, ia mengingat kembali sesuatu yang telah lama ia lupakan—bahwa kebahagiaan bukan tentang memiliki banyak, melainkan melihat banyak dalam apa yang sudah ada.

Filosof Romawi, Marcus Aurelius, pernah menulis dalam Meditations:

“Ingatlah bahwa kebahagiaan hidupmu tergantung pada kualitas pikiranmu.”

Bukan keadaan yang menentukan rasa bahagia, melainkan cara hati memahami keadaan itu. Kakek Bardi tidak hidup tanpa beban—ia hanya memilih memaknai bebannya dengan lapang.

Di situlah syukur bekerja: bukan menghapus masalah, tetapi menjadikan hati lebih kuat darinya.

Seneca juga pernah mengingatkan:

“Orang yang telah belajar untuk merasa puas dengan apa yang ia miliki, telah memiliki kekayaan terbesar.”

Dan pagi itu, di warung kopi sederhana yang tidak pernah masuk daftar tempat favorit siapa pun, Risa akhirnya mengerti—bahwa kebahagiaan sejati tidak pernah jauh.

Ia tidak pernah bersembunyi di balik karier, pencapaian, atau benda-benda yang kita kejar mati-matian.

Ia selama ini hanya menunggu pintunya dibuka—melalui syukur yang tulus.

Risa tersenyum. Besok ia akan kembali.
Dengan tiga hal kecil untuk disyukuri, dan satu hati yang sedikit lebih damai.***

Facebook Comments Box

Penulis : Bar Bernad

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya
Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates
Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai
Ketika Korban Bullying Menemukan “Pelarian” di Dunia Gelap Digital
Manusia, Anjing, dan Pengkhianatan Diri: Sebuah Refleksi Atas Homo Duplex
Ketersendirian Pahlawan dan Mandat untuk Menang: Filosofi Eksistensialisme dalam Perjuangan Pribadi
Ketangguhan Desa dan Sinergi Pentahelix Hadapi Krisis Iklim
Marsinah, Antara Pengakuan dan Penghapusan

Berita Terkait

Jumat, 14 November 2025 - 09:25 WIB

Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates

Jumat, 14 November 2025 - 08:02 WIB

Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai

Kamis, 13 November 2025 - 19:21 WIB

Ketika Korban Bullying Menemukan “Pelarian” di Dunia Gelap Digital

Kamis, 13 November 2025 - 15:25 WIB

Manusia, Anjing, dan Pengkhianatan Diri: Sebuah Refleksi Atas Homo Duplex

Kamis, 13 November 2025 - 14:11 WIB

Ketersendirian Pahlawan dan Mandat untuk Menang: Filosofi Eksistensialisme dalam Perjuangan Pribadi

Berita Terbaru