JUMAT itu seharusnya menjadi hari penuh suka cita. Di Garut, ribuan orang berduyun-duyun menuju Pendopo Kabupaten.
Mereka datang bukan untuk demo, bukan untuk menuntut hak, tapi hanya ingin ikut bersuka cita—merayakan pernikahan anak Gubernur Jawa Barat, Maula Akbar Mulyadi, dengan Wakil Bupati Garut, Putri Karlina.
Tapi siapa sangka, niat sederhana untuk “ikut bahagia” justru berakhir pilu. Tiga nyawa melayang di tengah desak-desakan ribuan warga yang saling dorong hanya demi sebungkus makanan gratis.
@fieral_fashion31makan gratis di alun2 garut…masih dlm acara merayakan pernikahan wakil bupati garut… #garut #garutpride🔥 #lancar #orangsunda
Di antara korban itu, ada Vania Aprilia, anak delapan tahun yang datang bersama ibunya, Mela Puri. “Iya, anak saya (meninggal),” kata Mela lirih di RSUD dr Slamet Garut, matanya kosong, suaranya patah.
Tak pernah ia bayangkan keputusannya membawa Vania ke sana adalah keputusannya yang terakhir sebagai seorang ibu.
Juga ada Bripka Cecep Saeful Bahri. Seorang polisi, seorang ayah, yang meninggal dunia bukan saat tembak-menembak, tapi saat mengangkat orang-orang yang pingsan dan terjepit di gerbang pendopo.
Seorang abdi negara yang gugur bukan di medan operasi, tapi di medan kerumunan yang tak pernah disiapkan negara.
Dan Dewi Jubaeda, seorang nenek berusia 61 tahun yang tubuhnya ringkih tak sanggup melawan arus massa yang tak terkendali.
Apa yang membuat mereka datang?
Kita bisa bilang karena rasa ingin tahu. Karena cinta rakyat pada pemimpinnya. Tapi lebih jujur lagi: karena ada makanan gratis.
Karena dalam hidup yang makin mahal, kadang sepotong nasi bungkus bisa jadi simbol perhatian dan pengakuan.
Seorang ibu bernama R (36) bahkan harus mengangkat anaknya ke atas pagar demi menyelamatkannya dari himpitan.
“Saya cuma mau ambil makanan, tapi orang-orang nyerbu dari semua arah. Panik. Kacau. Saya takut anak saya ikut kejepit,” katanya.
Tragedi ini bukan sekadar soal teknis keamanan yang gagal. Ini adalah refleksi dari betapa lemahnya manajemen publik ketika euforia lebih besar dari empati, dan simbol lebih penting dari substansi.
Di negeri yang katanya kaya, rakyat kecil masih harus berebut makan. Di negara yang katanya demokratis, panggung kekuasaan masih jadi tempat keramat, jauh dari jangkauan rakyat kecuali saat pesta.
Kita sering mendengar istilah “pesta rakyat.” Tapi apa arti pesta ketika yang dipestakan adalah luka? Apa arti kedekatan pemimpin dan rakyat jika satu-satunya kesempatan rakyat merasa “didekati” adalah saat ada panggung, makanan gratis, atau kamera?
Ucapan duka, janji beasiswa, dan santunan 150 juta rupiah memang terdengar besar. Tapi bagaimana mengukur harga dari kehilangan anak, ayah, atau ibu? Apakah tragedi harus terus berulang sebelum kita belajar?
Mungkin sudah saatnya kita berhenti membuat kerumunan demi pencitraan. Mungkin sudah waktunya rakyat diingat bukan hanya saat pemilu atau pesta.
Dan mungkin, paling penting, kita perlu berhenti menganggap bahwa memberi makan rakyat dalam satu hari lebih penting daripada memperbaiki nasib mereka dalam lima tahun.
Karena pesta yang gagal bukan hanya soal logistik. Ia adalah cermin dari kebijakan yang tak berpijak pada rasa.
Dan di balik wajah-wajah penuh duka di RSUD Slamet Garut, ada satu pertanyaan yang harus kita jawab bersama: berapa nyawa lagi yang harus dikorbankan agar kita bisa belajar? ***
Penulis : Bar Bernad




















