Sesendok Nasi, Sekarung Luka: Kisah MK dan Luka Kolektif Kita

- Redaksi

Sabtu, 14 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

illustration of child abuse

illustration of child abuse

DI ATAS selembar kardus, di antara bau amis ikan dan sayuran busuk, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun tertidur. Bukan karena mengantuk, tapi karena lelah menahan sakit yang bahkan tak layak dirasakan oleh manusia dewasa. Tulangnya menonjol dari bahu, wajahnya terbakar, dagunya robek. Dan ia sendiri. Sendiri di dunia yang seharusnya menjaganya.

Namanya MK. Tubuh kecilnya ditemukan warga dan Satpol PP Kebayoran Lama pada Rabu pagi. Ia tidak menangis. Mungkin sudah terlalu sering menangis. Mungkin ia sudah tahu, tidak ada yang mendengar.

Di usianya yang seharusnya diisi dengan tawa, MK justru hidup dalam babak penyiksaan yang keji. Ia mengaku dibakar di sawah. Dibacok karena tak mau makan nasi basi. Sesendok nasi setiap hari. Itulah “kasih sayang” yang ia terima dari ayah kandungnya.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saat petugas Satpol PP mendekat, ia nyaris tak bisa bicara. Tapi matanya berbicara banyak: tentang sakit, ketakutan, dan pengkhianatan.

Ini bukan kisah fiksi. Ini adalah potret pahit anak Indonesia yang tercecer dari pelukan keluarga, dari perhatian tetangga, dari jangkauan negara.

Satpol PP Kebayoran Lama mengamankan seorang anak yang diduga disiksa oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2025). ANTARA/HO-Satpol PP Kebayoran Lama.

Potret Luka Kolektif Bangsa Ini

Pada Rabu pagi, 11 Juni 2025, pukul 07.20 WIB, MK ditemukan petugas Satpol PP Kebayoran Lama saat patroli. Ia meringkuk sendiri di atas kardus di lorong pasar.

Awalnya dikira hanya anak yang tidur, tapi ketika didekati, kondisinya jauh dari biasa: tulang lengan menonjol akibat patah, wajah terbakar, dagu robek, dan tubuh penuh memar serta luka bekas benda tajam. Ia bahkan mengalami dehidrasi berat dan kekurangan gizi.

Menurut pengakuannya, MK telah lama disiksa ayahnya. Ibunya telah meninggal dunia, dan sejak itu, ia tinggal hanya dengan sang ayah—sosok yang semestinya menjadi pelindung, tapi justru menjadi pelaku kekerasan.

MK menyebut dirinya sering dipukul, dibakar, bahkan dibacok hanya karena kesalahan sepele—seperti makan nasi basi. Ia bahkan mengaku hanya diberi sesendok nasi setiap hari.

“Dia sempat cerita, kakinya dibacok karena makannya nasi basi,” kata petugas Satpol PP bernama Eko.

Ironisnya, MK dan ayahnya baru saja datang dari Surabaya ke Jakarta, menggunakan kereta dari Stasiun Pasar Turi. Setelah tiba, pada dini hari sekitar pukul 02.00 WIB, saksi bernama Budiono—seorang satpam pasar—melihat pria berpostur tinggi dan bermasker menurunkan MK di lorong pasar. Ia pergi tanpa kembali. MK pun ditinggalkan dalam kondisi sekarat.

Saat ditanyai, MK menyebutkan bahwa penyiksaan juga terjadi di Surabaya. Maka tak heran, kini penanganan kasusnya dilimpahkan ke Bareskrim Polri, dengan titik awal penyelidikan pada dugaan kekerasan yang dilakukan di luar wilayah hukum Jakarta.

Direktur Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nurul Azizah, menyatakan bahwa “keselamatan dan pemulihan anak menjadi prioritas utama.” Rekaman CCTV di sekitar Stasiun Pasar Turi kini sedang diperiksa.

Pemerintah Kota Jakarta Selatan melalui Suku Dinas Kesehatan dan Suku Dinas Sosial membantu penanganan anak korban penyiksaan oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (11/6/2025). (ANTARA/HO-Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan)

Kita semua terlambat. Kita semua lalai.

Ini bukan sekadar tragedi personal, tapi kegagalan sistemik: dari keluarga, lingkungan, hingga negara. Bagaimana mungkin anak dengan luka bakar, patah tulang, dan tubuh kekurangan gizi bisa tersembunyi sekian lama? Di mana aparat desa tempat ia dulu tinggal? Di mana Dinas Sosial? Di mana sistem perlindungan anak?

Yang paling menyakitkan: banyak dari kita terbiasa menganggap kekerasan terhadap anak sebagai “urusan rumah tangga.” Laporan disimpan, tindakan ditunda, dan luka-luka itu terus diderita oleh tubuh kecil seperti MK.

Anak-anak seperti MK tidak hanya butuh obat dan tempat tinggal. Mereka butuh rasa aman. Butuh jaminan bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke lingkaran penyiksaan. Butuh kita—masyarakat yang berani campur tangan.

MK sekarang dirawat di RSUD Kebayoran Lama. Tubuhnya mungkin bisa sembuh. Tapi siapa yang akan menjamin jiwanya ikut pulih?

MK adalah cermin, dan di sana kita melihat wajah kita yang sebenarnya—bangsa yang sering lupa memeluk anak-anaknya, apalagi melindungi mereka dari kekejaman orang terdekat.

Kalau hari ini kita masih bisa melihat anak tertidur di jalan, dan tak bertanya siapa dia dan kenapa ia di sana—maka MK bukan yang terakhir. Akan ada lagi anak-anak seperti dia. Terlunta, terluka, dan terlupakan.

***

Arsip foto – Satpol PP Kebayoran Lama mengamankan seorang anak yang diduga disiksa oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2025). (ANTARA/HO-Satpol PP Kebayoran Lama)

Kasus kekerasan terhadap MK bukan hanya kejahatan keluarga, tapi alarm keras bagi seluruh sistem perlindungan anak di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa masih banyak celah yang membuat anak-anak terjatuh ke jurang penderitaan—tanpa terpantau, tanpa dicegah, dan tanpa diselamatkan pada waktunya.

Kita tidak bisa hanya bersimpati setelah luka terbuka. Harus ada upaya nyata yang sistemik dan terukur.

Pertama, pemerintah—baik pusat maupun daerah—harus memperkuat sistem deteksi dini kekerasan terhadap anak melalui keterlibatan aktif RT/RW, sekolah, puskesmas, hingga kepolisian. Tak boleh ada lagi kasus anak hilang atau disiksa tanpa alarm sosial menyala lebih awal.

Kedua, Dinas Sosial perlu mengembangkan mekanisme perlindungan yang benar-benar responsif, termasuk pemberian tempat aman yang tidak hanya menampung sementara, tetapi juga merawat dan memulihkan anak secara psikologis dan emosional.

Ketiga, masyarakat harus didorong untuk tidak apatis. Laporan dari warga, seperti yang terjadi dalam kasus MK, bisa menyelamatkan nyawa. Maka budaya diam harus diganti dengan budaya peduli.

Keempat, negara harus menjamin penegakan hukum tegas terhadap pelaku kekerasan anak, tanpa toleransi, termasuk bila pelakunya adalah orang tua sendiri. Kekerasan dalam rumah tidak boleh lagi dianggap “urusan domestik”.

Saat MK kembali membuka matanya di ranjang rumah sakit, harapan kecil tumbuh—bahwa mungkin, dunia bisa lebih baik. Tapi harapan itu hanya akan bertahan jika kita semua memilih untuk tidak bungkam, tidak abai, dan tidak terlambat lagi.

Karena satu anak yang diselamatkan hari ini, bisa berarti satu generasi yang tidak tumbuh dalam luka besok.***

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Sendiri, Tapi Tidak Sepi: Meresapi Kesendirian Lewat Kacamata Stoik
Matahari Juga Bersinar untuk Orang Jahat: Pelajaran Tenang dari Seneca
Seneca dan Seni Menghadapi Cobaan: Keteguhan dalam Pandangan Stoik
Dialog Batin — Episode 2: Tuhan yang Jauh Padahal Dekat
Koperasi sebagai Ketidaktahuan yang Disengaja: Meninjau Kegagalan Epistemik Dunia Pendidikan terhadap Demokrasi Ekonomi
Dialog Batin – Episode 1 : “Jalan Pulang Tak Selalu Lewat Masjid”
Beragama di Tengah Ketakutan: Pelajaran dari Dudung dan Kiai Asep
“Cicak di Dinding”: Hikmah Rejeki dari Dinding Masa Kecil Kita

Berita Terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 21:15 WIB

Sendiri, Tapi Tidak Sepi: Meresapi Kesendirian Lewat Kacamata Stoik

Sabtu, 5 Juli 2025 - 20:43 WIB

Matahari Juga Bersinar untuk Orang Jahat: Pelajaran Tenang dari Seneca

Jumat, 4 Juli 2025 - 22:35 WIB

Seneca dan Seni Menghadapi Cobaan: Keteguhan dalam Pandangan Stoik

Kamis, 3 Juli 2025 - 13:22 WIB

Dialog Batin — Episode 2: Tuhan yang Jauh Padahal Dekat

Kamis, 3 Juli 2025 - 09:16 WIB

Koperasi sebagai Ketidaktahuan yang Disengaja: Meninjau Kegagalan Epistemik Dunia Pendidikan terhadap Demokrasi Ekonomi

Berita Terbaru