DI TENGAH bentang hijau hutan Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, warga Suku Baduy kembali membangun sebuah Cukangan—jembatan bambu gantung yang menghubungkan antar kampung.
Pembangunan dilakukan secara gotong royong, tanpa paku, tanpa semen, tanpa mesin, dan tanpa bantuan alat berat.
Seluruh konstruksi jembatan dikerjakan menggunakan bambu dan tali ijuk, sesuai aturan adat Baduy Dalam yang melarang penggunaan material modern.
Meski tampak sederhana, jembatan ini menjadi jalur vital yang menghubungkan aktivitas harian warga dan akses perjalanan antar permukiman.
Bekerja Tanpa Komando
Dari rekaman proses pembangunan, terlihat puluhan lelaki Baduy bekerja serempak. Bamburangkaian panjang mereka angkat bersama, disilangkan, lalu diikat dengan tali ijuk.
Tidak terdengar instruksi keras atau arahan teknis. Gerakan mereka berjalan selaras, berdasarkan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun.
Kepatuhan terhadap adat bukan sekadar aturan, tapi cara hidup. Warga mengetahui karakter bambu yang digunakan; mana yang lentur, mana yang kuat, dan mana yang mampu bertahan menghadapi arus sungai dan cuaca.
Dugdug Rempug: Mengganti Jembatan, Menguatkan Ikatan
Jembatan bambu ini biasanya diganti setiap dua hingga tiga tahun sekali melalui kegiatan gotong royong massal yang disebut Dugdug Rempug.
Secara teknis, bambu memang memiliki usia pakai terbatas. Namun bagi warga Baduy, penggantian rutin juga memiliki makna sosial.
Jembatan tidak hanya dipandang sebagai sarana penghubung fisik, melainkan simbol persaudaraan dan ketaatan adat.
Setiap kali jembatan dibangun ulang, warga menegaskan kembali komitmen kebersamaan dan keseimbangan hidup yang diwariskan leluhur.
View this post on Instagram
Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi
Dalam situasi ketika banyak pembangunan infrastruktur bergantung pada teknologi tinggi dan perencanaan teknis kompleks, cara warga Baduy membangun jembatan menghadirkan pelajaran tersendiri.
Sumber kekuatan konstruksi bukan hanya pada bahan, tetapi pada solidaritas dan kepercayaan antarwarga.
Bagi masyarakat Baduy, kekokohan jembatan bukan diukur dari kerasnya baja, melainkan dari kuatnya ikatan sosial di antara mereka.
Di atas aliran sungai Kanekes, jembatan itu berdiri. Sederhana, lentur, tidak megah—namun penuh makna: bahwa kebersamaan adalah struktur yang paling kokoh yang dimiliki manusia.***





















