SEKOLAH Menengah Kejuruan (SMK) digadang-gadang sebagai mesin pencetak tenaga kerja terampil yang langsung siap masuk ke dunia industri.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan ironi yang menyakitkan: ribuan lulusan SMK justru menumpuk dalam barisan pengangguran.
Retorika “siap kerja” yang selama ini digaungkan tak lebih dari jargon manis dalam brosur promosi sekolah. Dunia usaha dan dunia industri (DUDI) berkali-kali menyuarakan keluhannya: lulusan SMK tak memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan nyata perusahaan.
Alih-alih menjadi tulang punggung industri nasional, lulusan SMK justru menjadi potret kegagalan sistem pendidikan vokasi kita.
Masalah utamanya terletak pada jurang menganga antara kurikulum yang diajarkan di sekolah dan realitas yang dibutuhkan di lapangan.
Banyak kurikulum SMK disusun tanpa melibatkan langsung pelaku industri, apalagi mendapatkan pengawasan serius dalam implementasinya.
Akibatnya, siswa dijejali teori dan simulasi yang tak menyentuh persoalan konkret dunia kerja. Kompetensi yang dibentuk hanya sebatas cerita dan narasi usang di atas kertas, jauh dari standar yang ditetapkan perusahaan.
Lebih ironis lagi, banyak SMK tampak tidak memahami arah dan tujuan pendiriannya. SMK bukanlah tempat penggilingan ijazah, tapi wadah pembentukan tenaga kerja unggul yang bisa langsung diserap industri.
Namun, banyak sekolah justru sibuk membangun citra ketimbang mutu. Alih-alih menjalin kemitraan strategis dengan perusahaan, mereka berpuas diri dengan program pelatihan internal yang kedaluwarsa dan instruktur yang tak pernah lagi bersentuhan dengan teknologi terkini.
Seharusnya, hubungan antara SMK dan industri tidak sekadar formalitas berbasis MoU, tapi sinergi nyata dan sistematis.
Perusahaan wajib dilibatkan dalam perancangan dan evaluasi kurikulum, serta mengawasi pelaksanaan pengajaran di sekolah.
Tanpa pengawasan langsung dari dunia industri, kurikulum akan terus berjalan zigzag, menjauh dari kebutuhan nyata pasar kerja.
Jika sinergi ini tak segera dibenahi, maka SMK akan terus melahirkan lulusan yang tak relevan. Mereka bukan tak punya ijazah, tapi tak punya keterampilan yang dibutuhkan.
Negara pun akhirnya harus menanggung biaya sosial dari “pengangguran terdidik” yang ironisnya dihasilkan oleh sistem yang mengklaim “siap kerja”.
Sudah saatnya kita bertanya: SMK mencetak siapa? Lulusan yang siap kerja, atau justru siap kecewa?. ***
Dr. Deden Sukirman, MM, Pemerhati Pendidikan tinggal di Bandung





















