KAUM Sofis, kelompok intelektual yang berkembang pesat di Athena pada abad ke-5 SM, bukanlah sekadar guru bahasa atau filsuf belaka.
Mereka adalah arsitek komunikasi dan persuasi, para pionir yang mengajarkan bahwa otoritas tertinggi di dunia manusia bukanlah kebenaran yang mutlak, melainkan kekuatan kata-kata.
Semboyan tidak tertulis mereka, “Siapa yang menguasai kata (retorika), dialah yang menguasai dunia (politik dan sosial),” menjadi inti pemikiran mereka yang revolusioner sekaligus kontroversial.
Kekuasaan kaum Sofis dimulai dari fondasi filosofis mereka: Relativisme. Protagoras, tokoh terkemuka mereka, menyatakan bahwa “Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu.”
Jika kebenaran bersifat subjektif dan tidak ada standar moral yang absolut, maka tujuan hidup dan politik bukanlah menemukan kebenaran sejati, melainkan mencapai persuasi yang efektif.
Dalam sistem demokrasi Athena yang mengandalkan perdebatan di agora (pasar) dan ruang pengadilan, kemampuan untuk memenangkan suara adalah segalanya. Kata-kata, dengan demikian, menjadi mata uang kekuasaan yang paling berharga.
Rahasia utama Sofis terletak pada penguasaan Retorika sebagai senjata pamungkas. Mereka melatih murid-murid mereka—calon politisi dan pengacara—untuk menjadi mahir dalam sophisme, yaitu seni menyusun argumen yang tampak logis dan menarik, bahkan jika premisnya lemah.
Tujuannya adalah membuat ho hêttôn logos (argumen yang lemah) menjadi ho kreittôn logos (argumen yang kuat). Mereka mengajar cara:
- Mengendalikan Pathos (Emosi): Sofis tahu bahwa emosi jauh lebih kuat daripada logika. Dengan gaya bahasa yang indah (stile), ritme, dan metafora yang membius, mereka mampu membangkitkan rasa takut, kemarahan, atau harapan audiens, sehingga menjembatani argumen yang cacat dengan penerimaan emosional.
- Menciptakan Ethos (Kredibilitas): Dengan penampilan yang meyakinkan dan penguasaan bahasa yang sempurna, mereka memproyeksikan citra diri sebagai orang yang bijaksana dan layak dipercaya, terlepas dari integritas moral mereka yang sebenarnya.
Dalam perspektif Sofis, kata-kata adalah alat manipulasi yang netral. Gorgias bahkan membandingkan kekuatan bahasa dengan obat atau sihir, yang mampu membentuk opini publik dan memutarbalikkan fakta.
Ini berarti, keadilan dan ketidakadilan, kebaikan dan keburukan, dapat dipertukarkan selama orator berhasil menyusun narasi yang dominan.
Siapa pun yang dapat berbicara dengan paling meyakinkan, dialah yang akan menulis hukum dan menentukan nasib kota.
Namun, kuasa kata tanpa komitmen pada kebenaran ini menuai kritik pedas dari Socrates dan muridnya, Plato.
Bagi mereka, kaum Sofis adalah penjual ilusi yang mengorbankan kebijaksanaan demi keuntungan pribadi dan politik.
Retorika sejati, menurut Plato, seharusnya digunakan sebagai jalan menuju kebenaran, bukan sebagai teknik manipulasi untuk menguasai orang.
Terlepas dari kritik tersebut, warisan kaum Sofis tidak dapat disangkal.
Mereka adalah yang pertama kali mengalihkan fokus filsafat ke dunia manusia dan politik. Meskipun mereka dituduh sebagai manipulator, mereka secara jujur mengungkapkan bahwa dalam arena politik dan sosial, persepsi adalah realitas.
Mereka membuktikan bahwa dalam sebuah masyarakat demokratis, siapa pun yang paling mahir dalam membentuk dan mengendalikan narasi publik melalui kata-kata, dialah yang sesungguhnya memegang kendali atas pikiran dan tindakan orang lain—sebuah kebenaran yang tetap bergema kuat di era komunikasi massa dan media sosial saat ini.***
– Serial Filsafat –





















