SUKATANI, duo musik punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang terdiri dari gitaris Muhammad Syifa Al Lufti dan vokalis Novi Citra Indriyati, belakangan ini menjadi sorotan publik. Mereka dikenal dengan penampilan uniknya yang selalu menggunakan topeng, serta lagu-lagu yang sarat kritik sosial. Salah satu lagu mereka, “Bayar Bayar Bayar”, menuai kontroversi karena dianggap menyindir institusi kepolisian. Lagu ini viral di media sosial dan menjadi simbol perlawanan dalam aksi demonstrasi “Indonesia Gelap” pada Februari 2025.
Lirik yang Menyentuh Persoalan Publik
Lirik “Bayar Bayar Bayar” menggambarkan pengalaman sehari-hari masyarakat yang harus membayar ketika berurusan dengan polisi. Lagu ini menyoroti praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum kepolisian, seperti pembuatan SIM, tilang di jalan, hingga kasus-kasus lain yang melibatkan pungutan liar.
Liriknya yang blak-blakan, seperti “Mau bikin SIM bayar polisi/Ketilang di jalan bayar polisi/Mau korupsi, bayar polisi/Mau gusur rumah, bayar polisi”, menyentuh persoalan yang kerap dihadapi masyarakat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lagu ini tidak hanya menjadi viral di media sosial, tetapi juga diadopsi oleh para demonstran dalam aksi “Indonesia Gelap”. Ratusan pengunjuk rasa menyanyikan lagu ini sambil berjoget di depan polisi yang bertugas, menunjukkan bahwa pesan dalam lagu tersebut resonan dengan keresahan publik.
Kontroversi dan Permintaan Maaf
Setelah viral, lagu “Bayar Bayar Bayar” ditarik dari platform musik oleh Sukatani. Dalam video permintaan maaf yang diunggah di Instagram @sukatani.band, kedua personil tampil tanpa topeng untuk pertama kalinya. Mereka menjelaskan bahwa lagu tersebut ditujukan untuk mengkritik oknum polisi yang melanggar aturan, bukan institusi kepolisian secara keseluruhan. Mereka juga meminta pengguna media sosial untuk menghapus konten yang memuat lagu tersebut.
Namun, permintaan maaf ini justru memicu kecurigaan publik. Banyak yang menduga bahwa Sukatani diintimidasi oleh pihak kepolisian. Ketua PBHI Julius Ibrani menyatakan bahwa Sukatani sempat menghilang dan tidak dapat dihubungi setelah tampil di Bali. Ia menduga ada intimidasi dari oknum polisi yang memaksa band tersebut untuk meminta maaf. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945 dan instrumen hukum internasional.
Respons Kapolri dan Kritik terhadap Polri
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa institusi kepolisian tidak anti-kritik. Ia menyatakan bahwa kritik diterima sebagai masukan untuk perbaikan. Namun, pernyataan ini tidak serta-merta meredakan kecurigaan publik. Banyak yang menilai bahwa tindakan menarik lagu dan permintaan maaf Sukatani adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa lagu “Bayar Bayar Bayar” bukanlah tindak pidana. Lagu ini dianggap sebagai kritik sosial yang dilindungi oleh hukum. Peneliti ICJR, Nur Ansar, menyatakan bahwa tindakan klarifikasi dan permintaan maaf yang diduga dipaksakan oleh polisi tidak sesuai dengan kewenangan hukum yang dimiliki.
Dukungan dari Masyarakat dan Musisi
Kontroversi ini justru memicu gelombang dukungan untuk Sukatani. Tagar #Kamibersamasukatani menjadi trending di platform X (sebelumnya Twitter) dengan lebih dari 200 ribu cuitan. Musisi dan seniman seperti Superman Is Dead, Navicula, Voice of Baceprot, dan Hindia turut menyuarakan dukungan mereka. Selain itu, tokoh-tokoh publik seperti Pandji Pragiwaksono, Tere Liye, dan Bintang Emon juga ikut bersuara.
Dukungan ini tidak hanya terbatas pada kata-kata. Lagu “Bayar Bayar Bayar” diputar secara masif dalam aksi demonstrasi, dan banyak yang membeli lagu tersebut sebagai bentuk solidaritas. Hal ini menunjukkan bahwa pesan dalam lagu Sukatani telah menjadi suara kolektif bagi mereka yang merasa terpinggirkan oleh ketidakadilan.
Punk sebagai Alat Kritik Sosial
Sukatani, dengan genre musik punk, mengikuti jejak panjang musik sebagai alat kritik sosial. Punk, yang lahir di Inggris pada era 1970-an, selalu identik dengan perlawanan terhadap otoritas dan ketidakadilan. Di Indonesia, punk mulai berkembang pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, dipelopori oleh band seperti Anti Septic dan Young Offender. Musik punk menjadi medium untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap ketimpangan sosial, korupsi, dan represi.
Lagu “Bayar Bayar Bayar” adalah contoh nyata bagaimana punk tetap relevan sebagai bentuk ekspresi perlawanan. Meskipun akar punk berasal dari Inggris, pesannya telah bergema di seluruh dunia, termasuk Indonesia, di mana ketidakadilan dan korupsi masih menjadi masalah serius.
***
Kontroversi yang melibatkan Sukatani dan lagu “Bayar Bayar Bayar” mencerminkan ketegangan antara kebebasan berekspresi dan otoritas. Lagu ini tidak hanya menjadi kritik terhadap oknum polisi, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang sistemik. Dukungan yang mengalir dari masyarakat dan musisi menunjukkan bahwa pesan Sukatani telah menyentuh hati banyak orang.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya kebebasan berekspresi dalam demokrasi. Musik, sebagai bagian dari kebudayaan, memiliki kekuatan untuk menginspirasi perubahan dan memberikan suara bagi mereka yang terpinggirkan. Sukatani, dengan keberaniannya, telah membuktikan bahwa punk bukan sekadar genre musik, tetapi juga gerakan budaya yang terus hidup dan relevan.***
Penulis : Bernade