KITA hidup di dunia yang semakin padat, di mana ruang gerak fisik dan psikis kian terhimpit. Sesak yang kita rasakan bukan hanya karena kemacetan, melainkan karena tabrakan intens antara ambisi individual.
Inilah kondisi yang disebut oleh naskah ini sebagai “perebutan brutal demi bertahan hidup,” sebuah istilah yang seketika mengingatkan kita pada pandangan filsuf Thomas Hobbes.
Bagi Hobbes, manusia dalam keadaan alamiah hidup dalam “perang semua melawan semua” (bellum omnium contra omnes). Meskipun kita hidup dalam masyarakat modern, esensi bellum itu terasa hidup kembali dalam “belantara individualisme dan kapitalisme” yang kita diami.
Logika yang memerintah adalah logika zero-sum game: sukses adalah kegagalan orang lain. Keuntungan—bahkan survival—kita sering kali dikonstruksi di atas kerugian yang ditimpakan pada pihak lain.
Dalam sistem yang menuhankan efisiensi dan akumulasi, kebaikan bersama seolah menjadi anomali, sesuatu yang “tidak langgeng.”
Syukur di Tengah Schadenfreude
Namun, titik terendah dari kemerosotan etis ini terletak pada distorsi konsep syukur. Naskah ini dengan telanjang menyoroti bagaimana kita cenderung membutuhkan orang lain sebagai ‘korban’ untuk menegaskan keberuntungan diri.
Ketika kita mengucapkan “Puji Tuhan, syukurlah bukan saya” saat melihat berita duka, kita sedang terlibat dalam schadenfreude (rasa senang atas penderitaan orang lain) yang disamarkan dengan spiritualitas. Ini adalah reductio ad absurdum dari rasa syukur.
Syukur yang sejati, menurut tradisi etika, adalah pengakuan atas anugerah yang diterima, sebuah sikap virtue (kebajikan).
Namun, syukur komparatif yang didasarkan pada melihat “yang di bawah” dan mengukurnya dengan standar modal atau strata ekonomi, telah mengubahnya menjadi pembenaran pasif atas ketidakadilan.
Ini adalah bentuk alienasi moral yang dalam. Kita terasing dari penderitaan sesama, menjadikannya sekadar latar panggung untuk drama kebahagiaan kita sendiri.
Jika kita merujuk pada pemikiran Immanuel Kant, moralitas tidak boleh didasarkan pada perbandingan yang kontingen (tidak tetap) seperti status ekonomi.
Tindakan etis harus didorong oleh Kategorikal Imperatif—bertindaklah sedemikian rupa sehingga maksim tindakanmu dapat menjadi hukum universal.
Syukur yang jujur harusnya universal: ia harus mendorong kebaikan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas dari kekayaan. Syukur yang sejati adalah kesadaran akan tanggung jawab, bukan sekadar kelegaan komparatif.
Menyambut Syukur Eksistensial
Ironisnya, seperti yang disiratkan oleh naskah ini, mereka yang berada di “lapis paling bawah” justru dapat menunjukkan bentuk syukur yang paling murni dan “gratis.” Syukur mereka bersifat eksistensial, pengakuan atas nilai keberadaan, bukan nilai kepemilikan.
Mereka bersyukur atas cahaya pagi, atas makanan sederhana, terlepas dari hiruk-pikuk performance dan flexing status.
Inilah panggilan bagi kita semua: Syukur harus segera didefinisikan ulang sebagai manifesto etika.
“Syukur mesti merupakan kesadaran tentang makna perilaku etik yang diimplementasikan dalam setiap aktivitas.”
Syukur yang otentik adalah kesadaran yang menuntut tindakan. Ia menuntut kita untuk keluar dari zona nyaman komparatif dan memasuki zona tanggung jawab kolektif.
Jika kita bersyukur atas keuntungan, etika Kantian menuntut kita memastikan keuntungan itu tidak melanggar martabat (nilai intrinsik) manusia lain.
Jika kita bersyukur atas kesehatan, kita berkewajiban menggunakan kesehatan itu untuk meringankan beban mereka yang sakit.
Dalam dunia yang brutal dan didominasi oleh logika survival of the fittest, perjuangan terberat kita adalah menjaga agar ruang hati tetap lapang.
Syukur sejati adalah jembatan yang menarik kita keluar dari ‘perang semua melawan semua’ ala Hobbes, menuju solidaritas otentik—sebuah komitmen untuk membangun kesuksesan yang tidak dibangun di atas air mata, melainkan di atas fondasi kemanusiaan bersama.***
– Serial Filsafat –




















