Jakarta, Mevin.ID – Wacana pemerintah untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) 22 dari para pedagang online di e-commerce menuai perhatian publik. Pengamat perpajakan yang juga eks Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menegaskan ada tiga poin penting yang perlu dipahami para merchant.
Dalam unggahannya di platform X, Prastowo menyebut kebijakan ini sebagai “pajak merchant” yang pada dasarnya mengusung prinsip gotong royong.
“Esensi pajak ya gotong royong. Pajak memang beban, tapi dengan cara itulah hidup bersama menjadi mungkin,” tulis Prastowo.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Berikut tiga poin penting kebijakan pajak merchant yang dijabarkan Prastowo:
- Pedagang Mikro Aman dari Pajak
Pedagang dengan omzet hingga Rp 500 juta setahun tidak dikenai pajak. Hal ini sesuai Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). - Pedagang Kecil Kena Pajak 0,5% dari Omzet
Untuk merchant beromzet di atas Rp 500 juta sampai Rp 4,8 miliar setahun, tarif pajak hanya 0,5% dari omzet, merujuk PP No. 23 Tahun 2018. - Pedagang Menengah Dipungut Otomatis oleh Marketplace
Merchant dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar per tahun akan dipungut PPh 0,5% oleh marketplace seperti Tokopedia dan Shopee. Pajak ini nantinya dapat dikreditkan saat pelaporan pajak akhir tahun.
Prastowo menilai kebijakan ini adil karena pedagang mikro dilindungi, pedagang kecil dibantu dengan tarif rendah, dan pedagang menengah difasilitasi dengan pemungutan otomatis.
Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyiapkan aturan resmi untuk menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan merchant di Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Siapkah Pedagang Online?
Dengan kebijakan ini, para pedagang online diharapkan semakin siap dan taat pajak, sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara tanpa memberatkan pelaku usaha mikro dan kecil.***