Tali Kendali Emosi: Memahami Kepemilikan Diri dari Nasihat Epictetus

- Redaksi

Selasa, 4 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Patung Epictetus, seorang filsuf Yunani Stoic yang punya pandangan hidup stoisisme, di Roma, Italia. Luc Emergo/Shutterstock

Patung Epictetus, seorang filsuf Yunani Stoic yang punya pandangan hidup stoisisme, di Roma, Italia. Luc Emergo/Shutterstock

DALAM dunia yang serba cepat dan penuh provokasi, mudah sekali bagi kita untuk tersulut amarah oleh komentar di media sosial, kemacetan di jalan, atau bahkan ketidaksetujuan kecil dari orang terdekat.

Dalam pusaran reaktivitas emosional ini, kutipan dari seorang filsuf Stoa Yunani bernama Epictetus menawarkan sebuah cermin yang menohok:

“Jika seseorang bisa membuatmu marah, maka dia adalah tuanmu.”

Epictetus

Kutipan ini bukan sekadar aforisma tentang manajemen amarah; ini adalah deklarasi radikal tentang kepemilikan diri (self-mastery).

Epictetus, yang dulunya adalah seorang budak sebelum menjadi guru filsafat, memahami betul apa artinya dikendalikan.

Baginya, perbudakan fisik tidaklah seburuk perbudakan mental, di mana jiwa seseorang disandera oleh emosi yang dipicu oleh tindakan orang lain.

Logika Kuno tentang Tuan dan Budak Modern

Inti dari Stoisisme, mazhab filsafat yang dianut Epictetus, adalah membagi hidup menjadi dua kategori: hal-hal yang berada dalam kendali kita (internal) dan hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita (eksternal).

Emosi yang kita rasakan, penilaian yang kita buat, dan keputusan yang kita ambil adalah milik kita sepenuhnya. Sementara itu, tindakan orang lain, cuaca, opini publik, dan takdir adalah di luar kuasa kita.

Ketika kita membiarkan tindakan, perkataan, atau bahkan keberadaan orang lain memicu amarah kita, kita secara sukarela menyerahkan kendali atas dunia internal kita kepada mereka. Logikanya sederhana:

  • Pemicu (Trigger): Tindakan eksternal yang di luar kendali Anda.
  • Respons (Response): Amarah—sebuah reaksi internal yang seharusnya sepenuhnya di bawah kendali Anda.

Jika orang lain sukses menarik tuas respons ini, membuat Anda meledak atau tertekan, maka ia telah menetapkan dirinya sebagai tuan (master).

Ia tidak perlu mengeluarkan perintah; ia hanya perlu bertindak, dan Anda, sebagai budak emosi Anda, terpaksa bereaksi.

Kekuatan terbesar seseorang atas orang lain bukanlah kekerasan fisik, melainkan kemampuan untuk mendikte keadaan batinnya.

Amarah sebagai Komoditas di Era Digital

Nasihat Epictetus menemukan resonansi yang sangat kuat di abad ke-21. Di era digital, amarah telah menjadi komoditas. Algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang memicu emosi kuat—dan amarah adalah salah satu yang paling efektif.

Para provokator di dunia maya, sering kali anonim, tahu persis cara memanfaatkan kelemahan ini. Mereka melempar umpan, dan ketika kita bereaksi dengan komentar pedas, luapan frustrasi, atau bahkan hanya dengan menyebarkan kemarahan tersebut, kita telah menari mengikuti irama mereka.

Kita bukan lagi subjek yang berpikir rasional, melainkan objek yang reaktif, menjadikan orang asing di balik layar sebagai “tuan” bagi suasana hati dan waktu yang terbuang.

Mendapatkan Kembali Kemerdekaan Batin

Bagaimana cara melepaskan diri dari perbudakan emosional ini? Epictetus mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati terletak pada kedisiplinan penilaian (discipline of assent).

  • Jeda Kognitif: Saat Anda merasakan lonjakan amarah, jangan langsung menyetujuinya. Latih diri untuk jeda sejenak. Marcus Aurelius, filsuf Stoa lainnya, menasihati: “Jangan biarkan imajinasi Anda tersiksa oleh berbagai hal, tetapi segera pahami kondisi realitas saat ini.” Dalam jeda itu, tanyakan: Apakah ini berada dalam kendali saya?
  • Redefinisi Ancaman: Kenali bahwa ancaman sebenarnya bukanlah tindakan orang lain, melainkan penilaian Anda terhadap tindakan tersebut. Tindakan orang lain adalah fakta netral; amarah Anda adalah penilaian yang Anda berikan terhadap fakta tersebut (misalnya, “Ini tidak adil!” atau “Saya tidak pantas diperlakukan begini!”).
  • Memilih Respons: Setelah menyadari bahwa amarah adalah respons internal yang dapat dipilih, Anda dapat memilih respons yang konstruktif. Anda mungkin tidak bisa mengubah apa yang mereka lakukan, tetapi Anda selalu bisa memilih bagaimana Anda meresponsnya.

Memilih untuk tidak marah bukan berarti menjadi pasif atau apatis. Itu adalah pilihan aktif untuk mempertahankan kedamaian batin Anda. Itu adalah tindakan memberontak yang paling utama: menolak untuk dikendalikan.

Pada akhirnya, nasihat Epictetus adalah ajakan untuk hidup sebagai manusia yang berdaulat. Tali kendali emosi harus selalu berada di tangan kita sendiri.

Dengan menguasai amarah kita, kita bukan hanya menjadi lebih tenang, tetapi kita benar-benar mengklaim kembali hakikat kemerdekaan kita—memastikan bahwa diri kita, dan bukan orang lain, adalah satu-satunya tuan di atas takhta pikiran kita.***

– Serial Filsafat –

Facebook Comments Box

Penulis : Bar Bernad

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam
Longsor Cilacap, Pelajaran Berharga Soal Literasi Kebencanaan
Sandiwara Keadilan: Refleksi Ironi Korup dalam Sistem Kekuasaan
Harga Diri dan Kebebasan dalam Kesendirian: Menyelami Kebijaksanaan Socrates
Ketika Kota Bicara Lewat Gunungan Sampah
COP 30 dan Desa: Antara Komitmen Global dan Realitas di Tapak
Jeritan yang Tak Didengar: Membaca Ulang Tragedi SMAN 72
Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya

Berita Terkait

Minggu, 16 November 2025 - 14:39 WIB

Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam

Minggu, 16 November 2025 - 14:13 WIB

Longsor Cilacap, Pelajaran Berharga Soal Literasi Kebencanaan

Minggu, 16 November 2025 - 10:12 WIB

Sandiwara Keadilan: Refleksi Ironi Korup dalam Sistem Kekuasaan

Minggu, 16 November 2025 - 08:58 WIB

Harga Diri dan Kebebasan dalam Kesendirian: Menyelami Kebijaksanaan Socrates

Minggu, 16 November 2025 - 08:49 WIB

Ketika Kota Bicara Lewat Gunungan Sampah

Berita Terbaru

Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati (tampak dalam layar) memberikan pemaparan terkait pasar karbon dalam Sidang CMA7 COP30 di Belém, Brasil. (Antara/HO/Kementerian Kehutanan)

Ekonomi

Indonesia Dorong Aturan Pasar Karbon yang Lebih Adil di COP30

Minggu, 16 Nov 2025 - 18:15 WIB