Bandung, Mevin.ID – Di sebuah pagi yang hangat di kaki Gunung Leutik, Ciparay, aroma tanah basah menyatu dengan udara segar pegunungan. Langit masih kelabu ketika seorang anak perempuan 9 tahun memegang bibit pohon mahoni dengan kedua tangannya yang mungil. Di sebelahnya, seorang ibu membantu menggali tanah dengan cangkul tua.
“Aku tanam buat bumi, biar enggak rusak terus,” katanya sambil menatap tanah yang mulai dipenuhi ratusan lubang—tempat tumbuhnya harapan.
Hari itu, Sabtu 14 Juni 2025, bukanlah hari biasa. Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, warga Gunung Leutik, komunitas pencinta alam, dan pegiat konservasi dari berbagai penjuru Jawa Barat berkumpul di tanah adat Desa Gunung Leutik untuk menanam 1.000 pohon.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai bentuk perlawanan terhadap kerusakan hutan yang semakin masif akibat eksploitasi tanpa batas oleh kepentingan industri dan oligarki.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat bekerja sama dengan WALHI Jabar dan didukung oleh Nusantara Fund, dalam kerangka memperkuat konsep Wilayah Kelola Masyarakat—model pengelolaan lingkungan yang menjadikan masyarakat sebagai pelindung sekaligus penerima manfaat dari hutan.
Anak-Anak di Garis Depan Perubahan
Yang membedakan kegiatan ini dari aksi-aksi tanam pohon biasa adalah keterlibatan aktif anak-anak. Mereka bukan sekadar pelengkap foto. Mereka benar-benar ikut menggali, menanam, dan menyiram. Sebuah pemandangan yang mengharukan sekaligus penuh makna.
“Banyak orang dewasa yang sudah lupa cara bersyukur pada pohon. Tapi anak-anak ini, mereka belajar mencintai alam lewat tindakan nyata,” ujar Erik Roeslan, Koordinator FK3I Jabar, yang selama ini konsisten mengadvokasi hutan adat dan kawasan kelola rakyat.
Di sela kegiatan, para relawan dari berbagai organisasi pecinta alam seperti Mapala Cantigi, PAPAS, Reksawana, PMPA RANGER, dan Komunitas Saung Awi tampak menyatu dengan warga dan anak-anak. Tidak ada hirarki. Yang ada hanyalah semangat yang sama: menyelamatkan bumi, satu lubang tanam pada satu waktu.
Melawan Lewat Menanam
Desa Gunung Leutik bukan tanpa luka. Dalam satu dekade terakhir, tekanan terhadap wilayah adat mereka datang silih berganti: mulai dari ancaman pengalihfungsian lahan, eksploitasi air, hingga pembalakan liar yang didukung diam-diam oleh kekuatan modal besar.
“Kami sudah bosan dijadikan penonton. Maka kami pilih melawan dengan caranya alam: sabar, konsisten, dan mengakar,” ucap Dedi Kurniawan, Koordinator Nasional FK3I, sambil menunjukkan peta kawasan yang akan dipulihkan.
Bagi Dedi dan warga desa, menanam pohon bukan hanya untuk menghijaukan lahan, tetapi juga untuk memulihkan kedaulatan. Menanam adalah bentuk pendidikan politik dan ekologis yang paling dasar, dan paling kuat: dari rakyat untuk bumi.
Bukan Sekadar Pohon
Pohon-pohon yang ditanam bukan sembarangan. Ada mahoni, suren, alpukat, dan albasia—jenis-jenis pohon yang bernilai ekologis sekaligus ekonomis. Pilihan ini bukan tanpa alasan.
Selain menahan erosi dan menjaga sumber mata air, pohon-pohon ini juga bisa menjadi sumber pendapatan jangka panjang bagi warga desa, tanpa harus merusak tanah mereka sendiri.
“Wilayah kelola rakyat membuktikan satu hal: bahwa konservasi tidak harus miskin,” kata Erik, yang sudah mendampingi puluhan komunitas hutan di berbagai wilayah.
Hari Lingkungan Hidup yang Nyata
Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 adalah “Restorasi Ekosistem untuk Masa Depan Berkelanjutan”. Tapi bagi warga Gunung Leutik, mereka tidak perlu tema dari PBB untuk memahami urgensinya.
Mereka sudah merasakan sendiri bagaimana cuaca makin tak menentu, sumber air mengering, dan tanah menjadi rentan longsor.
“Kami tahu betapa pentingnya menjaga alam. Karena kami tinggal dan hidup darinya setiap hari. Kalau hutan rusak, kami juga yang pertama terkena dampaknya,” tutur salah seorang warga (47), yang ikut kegiatan ini.
Menanam untuk yang Tak Akan Pernah Mereka Lihat
Dalam setiap lubang yang mereka gali dan isi dengan bibit pohon, tersimpan sebuah kesadaran penting: bahwa hasil dari pekerjaan mereka hari ini mungkin baru akan dinikmati oleh anak dan cucu mereka.
Tapi bagi mereka, itulah bentuk cinta yang paling tulus—mewariskan bumi yang masih bisa bernapas.***