Jakarta, Mevin.ID – Mata Gita Maharkesri berkaca-kaca. Suaranya bergetar, menahan emosi yang tak bisa lagi disembunyikan. Presenter senior Kompas TV itu sedang menyapa pemirsa untuk terakhir kalinya dalam program Kompas Sport Pagi, Jumat (1/5), bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional.
“Tak terasa inilah akhir perjalanan panjang Kompas Sport Pagi selama hampir 12 tahun,” ucap Gita lirih. “Kami hadir menemani Anda dengan berbagai macam berita olahraga, baik dari dalam maupun luar negeri, serta kabar inspiratif dari atlet kebanggaan Indonesia dan dunia.”
Video perpisahan itu sontak viral di berbagai platform media sosial. Netizen membanjiri kolom komentar dengan ucapan terima kasih dan dukungan moral, menjadikan momen haru ini simbol dari gejolak yang kini melanda industri media.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kompas TV Lakukan PHK Massal
Program Kompas Sport Pagi resmi dihentikan. Gita Maharkesri, bersama puluhan karyawan lain, termasuk wartawan dan kru produksi, menjadi bagian dari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dilakukan Kompas TV sebagai bagian dari restrukturisasi internal.
Menurut sejumlah sumber internal, langkah ini diambil perusahaan untuk efisiensi dan penyelamatan finansial. Kompas TV, seperti banyak media arus utama lainnya, sedang menghadapi krisis eksistensial akibat pergeseran perilaku penonton dan tekanan pendapatan iklan.
“Digitalisasi konten dan pergeseran konsumsi media ke platform daring seperti YouTube, TikTok, dan Instagram membuat televisi konvensional kesulitan bersaing,” kata salah satu mantan staf redaksi yang enggan disebut namanya.
Turunnya Pendapatan, Hilangnya Program Ikonik
Sebagai media yang dulu dikenal kuat di segmen berita dan dokumenter, Kompas TV kini bergulat dengan kenyataan pahit: iklan berkurang drastis, biaya operasional tinggi, dan pemirsa makin menurun. Program-program lama, meski ikonik, tak lagi bisa dipertahankan.
PHK ini dilakukan bukan karena kesalahan individu, melainkan murni karena kondisi bisnis. Itulah yang membedakan layoff dari pemecatan. Namun, tetap saja, dampaknya menghantam kehidupan pribadi para jurnalis yang terdampak.
Gita dan 12 Tahun yang Tak Bisa Diulang
Bagi Gita Maharkesri, perpisahan itu bukan sekadar kehilangan pekerjaan. Selama lebih dari satu dekade, ia bukan hanya menjadi wajah Kompas Sport, tapi juga saksi perjalanan olahraga Indonesia di layar kaca. Keputusan ini tentu menjadi pukulan emosional yang dalam.
Kehilangan pekerjaan, apalagi di industri media yang begitu personal, berarti kehilangan identitas, ruang berekspresi, hingga rutinitas yang telah dibangun bertahun-tahun.
Industri Media di Persimpangan
PHK massal di Kompas TV bukan kasus tunggal. Gelombang serupa telah menghantam banyak redaksi media lain, dari cetak, radio, hingga TV. Industri ini sedang berada di titik kritis.
Model bisnis lama sudah tidak relevan, sementara model baru berbasis digital belum menjanjikan stabilitas. Persaingan dengan konten kreator independen yang lebih lincah memperbesar tantangan.
Transisi ke digital-first bukan sekadar memindahkan tayangan ke internet. Ia menuntut inovasi dalam distribusi, kecepatan, dan cara monetisasi. Sayangnya, banyak media yang tertinggal dalam perlombaan ini.
Perlindungan Pekerja Media Masih Minim
Tragedi di Kompas TV seharusnya menjadi alarm keras bagi pemangku kebijakan. Perlu ada sistem perlindungan yang lebih kuat bagi pekerja media—dari pelatihan ulang hingga akses kerja baru—agar mereka tak menjadi korban pasif dari perubahan zaman.
Sementara itu, industri media harus lebih serius berinovasi, tidak hanya soal konten, tetapi juga dalam strategi menjangkau audiens dan bertahan secara finansial.***