Di tengah ketegangan dagang global yang makin panas, ada satu kenyataan yang tak bisa diabaikan Amerika Serikat: negeri adidaya itu masih sangat bergantung pada minyak tropis—dan Indonesia diam-diam jadi pemasok utamanya.
Minyak sawit dan kelapa asal Asia Tenggara kini menjadi bahan baku strategis dalam berbagai sektor industri AS. Dari makanan olahan, kosmetik, hingga bahan bakar nabati, tropical oil tak tergantikan. Dalam konteks ini, Indonesia bukan hanya relevan, tapi vital.
Sementara Presiden Donald Trump sempat menerapkan tarif dasar 10% untuk seluruh negara, tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia ditunda selama 90 hari. Tapi jika diterapkan, tarif ini bisa membuat produk Indonesia—terutama tropical oil—menjadi jauh lebih mahal di pasar AS. Sebuah ironi, mengingat produk-produk itu justru sangat dibutuhkan di sana.
Dominasi Indonesia di Pasar AS
Data dari USDA (United States Department of Agriculture) membuktikan dominasi Indonesia. Pada 2023, ekspor minyak tropis Indonesia ke AS mencapai US$2,13 miliar. Angka ini jauh meninggalkan Filipina (US$359,9 juta) dan Malaysia (US$258,9 juta).
Dengan penguasaan lebih dari 70% total impor minyak tropis AS, ini menjadi rekor tertinggi Indonesia sejak 2010. Bahkan, nilai ekspor tersebut melonjak hampir 20 kali lipat dalam 13 tahun terakhir—dari hanya US$110 juta pada 2010 ke US$2,13 miliar tahun lalu. Dalam tiga tahun terakhir saja, lonjakannya sangat signifikan: dari US$945 juta (2020) ke US$2,13 miliar (2023).
Minyak Tropis: Kebutuhan Pokok AS
Tropical oil merujuk pada minyak nabati dari wilayah tropis, terutama minyak sawit dan kelapa. Kandungan lemak jenuhnya yang stabil membuatnya ideal untuk industri makanan olahan dan kebutuhan energi, terutama biodiesel.
Berbeda dengan minyak nabati lain seperti kedelai atau canola, tropical oil menawarkan daya tahan tinggi terhadap panas—menjadikannya komponen penting dalam rantai pasok pangan dan energi AS.
Ketika RI Maju, Malaysia Tertinggal
Malaysia, yang dulu menjadi raja ekspor sawit global, kini mulai tertinggal. Ekspor mereka ke AS menyusut drastis, dari puncaknya US$1,65 miliar pada 2011 menjadi hanya US$258 juta pada 2023—angka terendah sejak 2006.
Pandemi jadi titik balik besar. Saat Malaysia tersandung krisis tenaga kerja, Indonesia mengisi kekosongan dan kini tampaknya telah mengamankan posisi sebagai pemasok utama.
Tambahan lagi, banyak korporasi di AS kini memilih produk tersertifikasi. Indonesia lebih agresif membangun narasi keberlanjutan lewat RSPO dan ISPO. Sementara Malaysia dinilai lamban dalam menangani isu-isu pekerja paksa dan HAM yang mencoreng citra ekspor mereka.
Volumenya Tetap Tinggi, Ketergantungan Belum Berubah
Meski nilai total impor tropical oil AS turun 29% pada 2023 (dari US$4,1 miliar ke US$2,92 miliar), volumenya justru naik tipis: dari 2,57 juta ton ke 2,6 juta ton. Penurunan nilai hanya mencerminkan normalisasi harga pasca lonjakan energi, bukan menurunnya kebutuhan.
Artinya? AS masih terkunci pada pasokan dari kawasan tropis. Dan Indonesia kini memegang kendali utama.***
Penulis : Bar Bernad





















