NALURI paling mendasar manusia adalah menghindari rasa sakit. Ketika hati terluka, ketika kegagalan menghantam, atau ketika ketakutan mengepung, respons pertama kita adalah melarikan diri.
Kita mencari pengalih perhatian, menutup diri, atau menenggelamkan diri dalam pelarian yang instan.
Namun, Jalaluddin Rumi, sang penyair mistik Persia, menawarkan sebuah pandangan yang menantang naluri bertahan hidup ini, sebuah resep yang justru terdengar kejam, namun menyimpan kearifan yang mendalam:
“Lari dari apa yang menyakitimu akan semakin menyakitimu. Jangan lari, terlukalah sampai kamu sembuh.”
Kutipan ini adalah inti dari Filosofi Cinta Rumi—sebuah ajakan radikal untuk berhenti mencari jalan pintas menuju kedamaian, dan sebaliknya, merangkul proses penderitaan yang penuh. Rumi mengajarkan bahwa penyembuhan sejati tidak ditemukan di luar rasa sakit, melainkan di dalamnya.
Melarikan Diri: Ilusi Keamanan yang Menjebak
Mengapa melarikan diri dari rasa sakit justru membuatnya semakin menyakitkan?
Dalam pandangan Rumi, rasa sakit (luka emosional, kegagalan, kehilangan) adalah pesan, sebuah energi yang menuntut untuk diakui dan diproses.
Ketika kita melarikan diri, kita tidak menghilangkannya; kita hanya mendorongnya ke ruang bawah sadar.
Di sana, luka itu bermetamorfosis menjadi racun yang lebih kronis: kecemasan yang samar, ketakutan yang mendalam, atau bahkan pola perilaku destruktif.
Kita mungkin berhasil mengalihkan pikiran dengan kesibukan, hiburan, atau hubungan baru, tetapi bayangan dari luka yang tidak dihadapi itu akan terus membuntuti.
Ia menciptakan sebuah penjara yang ilusionis: kita merasa aman karena telah menghindar, tetapi sebenarnya kita terjebak dalam pengulangan yang sama. Rasa sakit itu tidak sembuh; ia hanya membeku, menunggu pemicu berikutnya untuk mencair dan menyerang lagi dengan kekuatan yang berlipat ganda. Inilah siklus melarikan diri yang menurut Rumi, menyebabkan rasa sakit yang lebih besar.
Terlukalah Sampai Kamu Sembuh: Merangkul Api Penyucian
Rumi mendesak kita untuk memilih jalan yang jauh lebih berani: “Jangan lari, terlukalah sampai kamu sembuh.” Ini adalah sebuah undangan untuk berhenti menjadi korban dan mulai menjadi pejuang spiritual.
Untuk “terluka sampai sembuh” berarti kita harus:
- Menghadapi Kegelapan: Kita harus berbalik dan melihat luka kita tanpa penghakiman. Duduklah di tengah ketidaknyamanan, biarkan air mata mengalir, dan biarkan rasa sakit itu terasa sepenuhnya. Ini adalah proses pembersihan (katharsis) yang diperlukan.
- Menggali Kebenaran: Rasa sakit adalah guru yang paling jujur. Ketika kita berhenti melarikan diri, kita dipaksa untuk bertanya: Mengapa ini menyakitkan? Apa yang harus saya pelajari dari kegagalan ini? Apa keterikatan yang harus saya lepaskan? Luka itu membuka mata kita terhadap kelemahan diri yang sebelumnya kita abaikan.
- Membiarkan Luka Menjadi Pintu: Sejalan dengan ajarannya tentang cahaya yang masuk, Rumi percaya bahwa luka adalah pembukaan menuju pertumbuhan. Hanya dengan menembus dinding pertahanan diri dan merasakan kepedihan yang paling dalam, kita dapat mencapai inti kebijaksanaan dan Cinta Ilahi.
Proses ini mungkin terasa seperti api penyucian—membakar ego dan memurnikan jiwa. Tetapi ketika kita keluar dari api itu, kita tidak hanya sembuh (kembali ke kondisi lama); kita bertumbuh (menjadi sesuatu yang baru dan lebih kuat).
Kita menjadi individu yang tidak takut pada rasa sakit, karena kita telah membuktikan kepada diri sendiri bahwa kita dapat bertahan melewatinya.
***
Kutipan Rumi ini adalah nasihat abadi tentang keberanian batin. Ia mengajarkan bahwa penyembuhan bukanlah tentang menghilangkan rasa sakit, melainkan tentang mengubah hubungan kita dengannya.
Rasa sakit adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup, sebuah guru yang tidak pernah berbohong.
Alih-alih melarikan diri dan mengutuk kegelapan, Rumi mengajak kita untuk masuk dan menerangi kegelapan itu dengan kesadaran penuh.
Hanya dengan membiarkan diri kita “terluka sampai sembuh”—dengan menerima dan mengolah penderitaan secara mendalam—kita benar-benar dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih berempati, dan mencapai kedamaian yang tidak dapat digoyahkan oleh gejolak eksternal mana pun.***
– Serial Filsafat –





















