Tiga Akar Kesedihan Menurut Khawaja Abdullah Ansari

- Redaksi

Rabu, 15 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DALAM hiruk pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan menuntut, sering kali kita merasa terbebani oleh rasa sedih dan kecewa. Kita mencari solusi dari luar, padahal akar masalahnya mungkin bersemayam jauh di dalam diri kita.

Pemikir sufi besar dari Persia, Khawaja Abdullah Ansari (1006–1088 M), menawarkan sebuah refleksi mendalam yang relevan hingga hari ini. Menurut beliau, kesedihan manusia itu berpangkal dari tiga hal sederhana namun fundamental:

1. Menginginkan Sesuatu Sebelum Waktunya (Ketidaksabaran Kosmis)

Ini adalah jebakan pertama. Kita hidup dalam budaya “serba instan.” Kita menanam benih hari ini, dan ingin memetik buahnya besok. Ansari mengajak kita untuk merenungkan konsep waktu Ilahi dan takdir.

Segala sesuatu memiliki musimnya, memiliki timing yang sempurna dalam skema besar kehidupan.

Ketika kita memaksa diri atau keadaan untuk mencapai hasil sebelum matang—sebelum kita siap, atau sebelum kondisi eksternal mendukung—yang muncul bukanlah kebahagiaan, melainkan rasa frustrasi yang mendalam.

Kita menjadi sedih karena kita tidak bersabar pada proses, pada tahap pertumbuhan. Opini ini mengajarkan bahwa menerima timing kehidupan adalah bentuk tertinggi dari kepasrahan dan kedamaian batin.

Kegagalan mencapai ambisi instan bukanlah kegagalan hidup, melainkan tanda bahwa kita harus menunggu musimnya.

2. Menginginkan Lebih Daripada Kadar yang Telah Ditakdirkan Baginya (Ketamakan Batas)

Akar kesedihan kedua adalah ketamakan yang melampaui batas yang wajar. Ini bukan tentang menolak ambisi atau kemajuan, melainkan tentang penolakan terhadap konsep kecukupan (qana’ah).

Kita dianugerahi rezeki, kemampuan, atau kesempatan dengan kadar tertentu, sesuai kebutuhan dan potensi kita.

Kesedihan muncul ketika kita terus membandingkan apa yang kita miliki dengan ambang batas imajiner yang terus bergerak naik.

Kita memiliki rumah, tapi ingin yang lebih besar. Kita punya pekerjaan, tapi ingin posisi yang lebih tinggi, bahkan jika hal itu mengorbankan kedamaian atau etika.

Pandangan Ansari ini mengingatkan bahwa mengejar ‘lebih’ secara kompulsif adalah perlombaan tanpa garis akhir. Kita menjadi sedih bukan karena kekurangan, tetapi karena keengganan untuk mengakui bahwa apa yang ada sudah cukup.

Kedamaian sejati, kata Ansari, ditemukan saat kita menyelaraskan keinginan dengan takdir yang telah diberikan.

3. Menginginkan Sesuatu yang Dimiliki Orang Lain (Kecemburuan Destruktif)

Inilah racun sosial yang paling umum: iri hati atau kecemburuan. Ansari menunjuk pada sifat manusia yang sering kali mengabaikan berkah yang ada di tangannya sendiri demi terpana pada “rumput tetangga yang lebih hijau.”

Kesedihan yang berasal dari iri hati adalah yang paling sia-sia, karena ia menggandakan penderitaan: kita tidak hanya merasa kurang atas apa yang tidak kita miliki, tetapi juga merasakan kepahitan atas kebahagiaan orang lain.

Keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain secara fundamental adalah penolakan terhadap takdir pribadi dan keunikan diri sendiri.

Ketika mata kita terfokus pada kesuksesan orang lain, kita gagal melihat peluang dan potensi unik yang telah ditakdirkan untuk kita.

Opini ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki peta harta karun yang berbeda; kita menjadi sedih ketika kita mencoba berjalan di peta orang lain.

Mengubah Sudut Pandang

Inti dari pemikiran Khawaja Abdullah Ansari adalah ajakan untuk berdamai dengan realitas—realitas waktu, realitas batas, dan realitas diri sendiri.

Kesedihan, dalam pandangan Sufi ini, bukanlah takdir yang harus diterima, melainkan sinyal internal bahwa ada perlawanan terhadap arus kehidupan:

  •  Lawan Ketidaksabaran dengan Kepasrahan (Tawakkal).
  • Lawan Ketamakan dengan Rasa Cukup (Qana’ah).
  • Lawan Kecemburuan dengan Syukur (Syukr) atas keunikan diri.

Dengan menginternalisasi tiga pilar kebijaksanaan ini, kita tidak hanya mengurangi sumber kesedihan, tetapi juga menemukan kebebasan spiritual yang tak terhingga, terlepas dari kondisi material dunia luar.

Refleksi Ansari adalah peta jalan abadi menuju ketenangan batin.***

– Serial Filsafat –

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat
Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum
Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus
Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan
Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu
Banjir Tahunan Eretan Wetan : Warga Bertahan Di Tengah Janji Yang Tak Kunjung Datang
Air Zam-zam yang Tercemar Darah Tetangga: Ironi Ibadah dan Kemanusiaan
Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 12:57 WIB

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat

Senin, 10 November 2025 - 14:09 WIB

Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum

Senin, 10 November 2025 - 12:47 WIB

Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus

Senin, 10 November 2025 - 11:29 WIB

Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan

Senin, 10 November 2025 - 10:54 WIB

Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu

Berita Terbaru