Bandung, Mevin.ID – TikTok kembali membuat gebrakan besar. Sejak 1 Oktober 2025, platform video pendek ini resmi menaikkan porsi bagi hasil untuk kreator hingga 90 persen dari total pendapatan langganan.
Angka ini bukan hanya mengubah peta persaingan platform, tetapi juga memberi sinyal jelas: TikTok ingin menjadi “rumah utama” para kreator digital dunia.
Dalam skema baru ini, kreator akan menerima 70 persen dari pendapatan bersih — lebih besar dari sebelumnya yang hanya 50 persen. Tambahan bonus performa hingga 20 persen juga disiapkan bagi kreator dengan tingkat engagement tinggi.
Artinya, kreator berprestasi bisa meraup hampir seluruh pendapatan dari konten berlangganan mereka.
Langkah ini menempatkan TikTok jauh di atas pesaingnya. YouTube dan Instagram, misalnya, masih berkutat di kisaran 70 persen bagi hasil.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. Kreator di Amerika Serikat dan Kanada — dua wilayah pertama yang mencicipi skema baru ini — wajib memiliki minimal 10.000 pengikut aktif dan 1 juta tayangan video per bulan.
Tambahan bonus diberikan berdasarkan performa konten, interaksi audiens, dan aktivitas selama periode tertentu.
Kebijakan ini datang di tengah situasi persaingan ketat antarplatform. TikTok sempat diguncang ancaman larangan operasional di AS dan proses restrukturisasi kepemilikan.
Setelah situasi mulai stabil, TikTok bergerak cepat untuk memastikan para kreator tetap bertahan — bahkan makin betah.
Model langganan superfan menjadi salah satu andalan dalam strategi ini. Kreator dapat menjual akses eksklusif kepada penggemar melalui konten spesial, live streaming, atau interaksi personal.
Sistem ini mengubah penggemar menjadi pendukung finansial langsung dan menjadikan kreator sebagai “usaha mandiri berskala kecil”.
Meski kebijakan ini baru berlaku di Amerika Utara, dampaknya bisa terasa global. Kreator di Indonesia mungkin belum mendapat porsi 90 persen, tapi arah strategi TikTok jelas: kompetisi untuk merebut hati kreator kian memanas.
Bukan tak mungkin, dalam waktu dekat, panggung besar ini akan meluas ke berbagai belahan dunia — termasuk Indonesia.***





















