Tolpit: Ketika Sebuah Nama Nyeleneh Menyimpan Doa dan Kesuburan Tanah Jawa

- Redaksi

Kamis, 9 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DI SEBUAH pasar pagi di Bantul, aroma gula jawa dan minyak goreng bercampur lembut di udara. Di antara deretan jajanan pasar, tampak seorang perempuan tua sedang memutar adonan kecokelatan di wajan kecil.

Tangannya cekatan, tiga bilah bambu dipegangnya seperti alat musik, menjepit adonan yang perlahan berubah bentuk menjadi bulat lonjong.

“Ini tolpit, Nak. Dulu orang sini menyebutnya kontol kejepit,” katanya sambil tertawa kecil.

Nama yang membuat banyak orang spontan menoleh, tersipu, atau sekadar geleng-geleng kepala. Tapi bagi warga Bantul, nama itu bukan bahan lelucon.

Ia adalah warisan, sebuah simbol dari cara orang Jawa menertawakan hidup sekaligus merayakannya.

Jejak Rasa dan Doa di Balik Gula Jawa

Kue yang juga dikenal sebagai adrem ini dulunya bukan sekadar camilan manis. Ia hadir dalam setiap masa panen sebagai persembahan bagi Dewi Sri, dewi kesuburan yang menjaga ladang dan kehidupan.

Masyarakat desa menukarnya dengan hasil panen padi—sebuah bentuk syukur atas tanah yang subur, musim yang ramah, dan kerja keras yang terbayar.

“Adrem itu lambang doa supaya hidup tetap adhem, tenteram,” tulis laman resmi Pemprov DIY.

Dalam filosofi Jawa, adhem bukan sekadar sejuk. Ia berarti keteduhan batin, keseimbangan antara rasa dan realitas, antara menerima dan berjuang.

Teknik Menjepit yang Jadi Identitas

Ciri khas adrem terletak pada cara pembuatannya. Adonan dari tepung beras dan gula jawa cair digoreng perlahan dengan tiga bilah bambu.

Jika tak dijepit, bentuknya seperti apem biasa. Tapi ketika digoreng dengan teknik jepit, ia mengembang di sisi-sisinya, menciptakan bentuk unik dan tekstur yang menggoda.

“Kalau tidak dijepit, tidak jadi tolpit,” ujar Mardinem, pembuat adrem asal Imogiri, Bantul. “Menjepitnya harus pas. Terlalu lama, gosong. Terlalu cepat, belum matang. Hidup juga begitu.”

Kata-katanya mengalir seperti petuah—bahwa dalam kehidupan, keseimbangan adalah seni tertinggi.

Antara Nama dan Makna

Nama kontol kejepit lahir dari bahasa rakyat, spontan dan jenaka. Dalam pandangan antropolog budaya Setyo Prasiyono Nugroho, sebutan itu muncul karena bentuknya yang dianggap menyerupai alat kelamin pria.

Namun bagi para pembuatnya, nama itu hanyalah metafora yang lahir dari teknik memasak, bukan bentuk fisik.

“Mungkin karena dijepit pakai tiga sumpit, lalu diangkat. Jadi bukan karena bentuknya,” kata Mardinem tersenyum.

Seperti banyak hal dalam budaya Jawa, makna sering tersembunyi di balik kelakar. Nama nyeleneh bukan tanda kurang sopan, melainkan cara masyarakat berkomunikasi dengan ringan tentang hal-hal yang sebenarnya sakral—tentang hidup, kesuburan, dan keberlanjutan.

Warisan Rasa dan Cerita

Kini tolpit tak hanya dijual di pasar-pasar tradisional. Ia tampil di festival kuliner, di meja tamu hotel, bahkan di katalog warisan budaya nasional.

Penetapannya sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan bukan sekadar penghargaan terhadap bentuk atau rasa, melainkan pengakuan terhadap cerita yang dibawanya—cerita tentang manusia Jawa yang pandai menyatukan kerja, rasa syukur, dan humor dalam sepotong kue sederhana.

Ketika digigit, rasa manis gula jawa berpadu dengan aroma gosong ringan dari minyak kelapa. Di sanalah filosofi Jawa bekerja: hidup yang manis tak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari keseimbangan antara pahit, hangat, dan waktu.

Manis yang Tak Sekadar di Lidah

Di pasar Bantul itu, suara penjual tolpit masih menggema setiap pagi.

“Manisnya dari gula, ademnya dari hati,” kata salah satu pedagang tua, menggoda pembelinya.

Dan mungkin, di situlah rahasia panjang umur budaya Jawa—mereka tak sekadar melestarikan resep, tapi juga cara menertawakan hidup sambil menjaga doa di dalamnya.***

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda: Oase Hijau, Saksi Bisu Sejarah, dan Paru-Paru Kota Bandung
Ini 15 Obat Herbal Ilegal Mengandung Bahan Kimia Berbahaya, BPOM: Bisa Rusak Ginjal!
Jejak Kolonial di Secangkir Kopi
Jalan Kaki: Ritual Sederhana untuk Menjaga Waras di Tengah Hidup yang Riuh
Jejak Kolonial, Secangkir Kisah dari Tanah Rempah: Perjalanan Kopi Nusantara
Bab Baru di Usia 50-an: Saat Hidup Tak Lagi Soal Membuktikan, Tapi Menemukan Makna
Tak Hanya Telur! 12 Makanan Ini Ternyata Sumber Protein Tinggi
Pemerintah Berencana Hapus Tunggakan Iuran BPJS Kesehatan Peserta JKN

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 12:16 WIB

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda: Oase Hijau, Saksi Bisu Sejarah, dan Paru-Paru Kota Bandung

Selasa, 4 November 2025 - 12:42 WIB

Ini 15 Obat Herbal Ilegal Mengandung Bahan Kimia Berbahaya, BPOM: Bisa Rusak Ginjal!

Senin, 20 Oktober 2025 - 14:20 WIB

Jejak Kolonial di Secangkir Kopi

Minggu, 19 Oktober 2025 - 11:35 WIB

Jalan Kaki: Ritual Sederhana untuk Menjaga Waras di Tengah Hidup yang Riuh

Selasa, 14 Oktober 2025 - 14:18 WIB

Jejak Kolonial, Secangkir Kisah dari Tanah Rempah: Perjalanan Kopi Nusantara

Berita Terbaru