HARI-HARI belakangan, rakyat Indonesia dipaksa menyaksikan ironi yang menyakitkan: tayangan berita tentang tumpukan uang miliaran rupiah dari hasil korupsi, bersanding dengan kenyataan hidup mereka yang masih terseok-seok sejak pandemi.
Visual koper, kardus, bahkan lemari yang penuh dengan uang sitaan dari tangan para pejabat—terlihat jelas di layar televisi, media sosial, dan halaman utama berita daring.
Dan saat rakyat sedang berjibaku bertahan hidup, gambar-gambar itu bukan sekadar fakta hukum. Ia adalah penghinaan yang disiarkan ulang setiap hari.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Korupsi yang Diperlihatkan, Luka yang Diingatkan
Tak ada yang salah dengan transparansi aparat penegak hukum. Bahkan, publik berterima kasih pada mereka yang berani mengungkap dan menyeret koruptor ke meja hijau.
Namun di sisi lain, ekspos besar-besaran pada wajah rakus para pejabat ini juga menjadi alarm: bahwa sistem kita masih bocor, dan kepercayaan rakyat sedang berada di titik nadir.
Rakyat tidak marah hanya karena pelaku korupsi mengambil uang negara. Mereka marah karena uang itu adalah uang rakyat—yang seharusnya untuk bantuan UMKM, subsidi kesehatan, pemulihan pendidikan, dan penyelamatan ekonomi pasca-pandemi.
Di saat rakyat menunggu bantuan modal Rp2 juta, yang ditampilkan justru korupsi Rp200 miliar.
Di saat pedagang kecil menjerit karena omset anjlok, justru pejabat berpesta proyek fiktif.
Di saat anak-anak putus sekolah karena biaya, justru ada elite yang menyembunyikan uang tunai dalam kontainer.
Ironi ini terlalu nyata untuk diabaikan.
Rakyat yang Sudah Lelah Bersabar
Sejak pandemi 2021, jutaan rakyat kehilangan pekerjaan, usaha gulung tikar, cicilan menumpuk, dan daya beli terus tergerus. Mereka disuruh bersabar. Dan mereka memang bersabar.
Tapi kesabaran itu kini digerus oleh tayangan demi tayangan tentang rakusnya sebagian pejabat yang tak tahu malu.
Lebih menyakitkan lagi, sebagian besar korupsi terjadi di sektor-sektor yang menyentuh hidup rakyat paling dalam: kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, bahkan anggaran kebencanaan.
Mereka bukan hanya koruptor. Mereka adalah pengkhianat kepedulian.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pertama, rakyat perlu tetap bersuara. Jangan biarkan kemarahan memudar karena terbiasa.
Kedua, penegak hukum harus terus bekerja—dan melangkah lebih berani ke level yang lebih tinggi.
Ketiga, pemimpin negara harus paham: tidak cukup sekadar menangkap. Harus ada pembenahan sistemik. Tanpa itu, pemberantasan korupsi hanya jadi pertunjukan periodik, bukan perubahan sejati.
Jangan Biarkan Luka Ini Jadi Biasa
Di negeri ini, luka seringkali dianggap wajar. Tapi luka karena pengkhianatan tidak boleh dilupakan. Karena setiap uang yang dikorupsi adalah mimpi yang dirampas. Setiap tumpukan rupiah yang disita adalah bukti tumpukan luka yang dipikul rakyat kecil.
Tugas kita bukan hanya menyaksikan. Tugas kita adalah memastikan bahwa tak ada lagi pejabat yang bisa tidur di atas jeritan rakyatnya.
“Suara untuk Mereka yang Tak Disuarakan”
Penulis : Bar Bernad