GOWA, Sulawesi Selatan – Pagi masih menggigit di Kecamatan Bontolempangan, Kabupaten Gowa. Kabut tipis menyelimuti langkah-langkah kecil yang bergegas menuju sekolah.
Di antara kerumunan itu, ada Rangga, siswa Sekolah Dasar Inpres Borong Bulo, yang berjalan perlahan dengan tatapan lurus ke depan.
Bekalnya hari itu bukan uang jajan, roti kemasan, apalagi nasi berlauk. Di genggaman tangan kurusnya, tersimpan sebungkus kecil ubi bakar—hadiah sederhana dari dapur kakeknya.
Ubi bakar itu adalah representasi dari hidup yang harus ia jalani. Sejak ayahnya tiada, Rangga tinggal bersama kakeknya yang sudah renta. Kehidupan mereka jauh dari kata berkecukupan. Namun, di balik seragam sekolahnya yang rapi meski seadanya, tersimpan keteguhan dan semangat yang luar biasa.
Pelajaran dan Keikhlasan
Di dalam kelas, Rangga duduk di bangku kayu, menyimak setiap kata dari gurunya dengan penuh perhatian. Tak ada wajah murung atau keluh kesah. Semangat belajarnya seolah menjadi pelita yang tak pernah padam.
Ketika waktu istirahat tiba, saat anak-anak lain sibuk berlarian menuju kantin atau membuka kotak bekal berisi makanan instan, Rangga memilih sudut halaman yang tenang.
Ia membuka bungkus ubi bakarnya dan mulai menikmati bekalnya perlahan. Bagi Rangga, ubi bakar itu adalah santapan terlezat di dunia, dinikmati dengan rasa syukur yang mendalam.
Rangga adalah potret nyata dari ribuan anak Indonesia yang berjuang melawan keterbatasan ekonomi demi mengejar mimpi. Sebagai anak yatim yang hanya mengandalkan kasih sayang kakek, jalannya memang tak mudah.
Namun, tak pernah sekalipun keluhan keluar dari bibir kecilnya. Yang ada hanyalah harapan tulus untuk terus belajar, tumbuh, dan kelak dapat mengubah nasib keluarganya.
Simbol Ketangguhan
Kisah Rangga bukan sekadar cerita tentang seorang anak yang membawa ubi ke sekolah. Ia adalah simbol ketangguhan dalam kesederhanaan. Setiap gigitan ubi bakar itu menyimpan pelajaran berharga tentang penerimaan, rasa syukur, dan tekad baja untuk tidak menyerah pada keadaan.
Kisah Rangga menjadi pengingat bagi banyak pihak bahwa di sudut-sudut negeri, masih banyak pejuang kecil yang membutuhkan uluran tangan. Bagi mereka yang tergerak, pintu kebaikan selalu terbuka.
Amal jariyah sekecil apa pun, kata-kata penyemangat, atau bantuan sederhana dapat menjadi pelita yang menerangi perjalanan hidup Rangga dan anak-anak lain sepertinya, memastikan semangat belajar mereka tidak pernah padam.
Kisah-kisah inspiratif seperti Rangga mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah hak, dan setiap anak berhak mendapat dukungan untuk meraih mimpi mereka, terlepas dari latar belakang ekonomi.***





















