Bekasi, Mevin.ID – Para alumni Pondok Pesantren Al-Fath Bekasi menggelar Kuliah Kebangsaan bertajuk “Bersinergi Membangun Negeri: Dari Al-Fath untuk Peradaban Indonesia yang Harmoni”, Minggu (5/10/2025).
Acara yang digelar di kompleks pesantren di Jaka Setia, Bekasi Selatan, ini menghadirkan dua mantan narapidana terorisme (napiter) — Nasir Abbas dan Muhammad Sofyan Tsauri — serta ulama dan tokoh masyarakat dari Bekasi.
Dalam forum tersebut, para narasumber menyoroti pentingnya ketegasan hukum dan keteladanan masyarakat dalam mencegah penyebaran paham radikal dan terorisme di Indonesia.
Nasir Abbas: Radikalisme Lahir dari Kegagalan Memahami Perbedaan
Nasir Abbas mengisahkan pengalamannya terpapar ajaran ekstrem sejak usia 15 tahun. Ia menuturkan, akar dari terorisme bukan semata ideologi, melainkan ketidakmampuan seseorang memahami dan menerima perbedaan.
“Dulu saya merasa paham saya yang paling benar. Bahkan saat imam membaca usolli, saya enggan bermakmum karena merasa salat saya tak diterima Allah,” ungkapnya.
Kini, mantan anggota jaringan Jamaah Islamiyah itu justru mengakui pentingnya moderasi beragama.
“Alhamdulillah, saya kini mengikuti mazhab Syafi’i dan berada di lingkungan Nahdlatul Ulama,” ujarnya.
Ia menegaskan, ekstremisme biasanya dimulai dari intoleransi terhadap empat pilar kebangsaan — Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI — yang kemudian berkembang menjadi sikap radikal hingga aksi teror.
“Yang ditangkap penegak hukum biasanya yang sudah mengangkat senjata. Padahal para tokoh penyebar ajaran radikal masih bebas karena belum melakukan tindakan fisik,” ujarnya, mengkritik celah hukum yang ada.
Nasir pun berpesan agar para orang tua aktif mengawasi gawai anak-anaknya.
“Radikalisme hari ini menyusup lewat ponsel dan media sosial. Awasi isi HP anak-anak kita,” pesannya.
Muhammad Sofyan Tsauri: Pengaruh Media Sosial Tak Bisa Diremehkan
Senada dengan Nasir, mantan anggota kepolisian yang juga eks-napiter Muhammad Sofyan Tsauri menyoroti peran media sosial dalam menyebarkan ideologi radikal.
“Banyak anak-anak sekarang sudah terpapar ajaran radikal sejak dini, bahkan sebelum remaja,” katanya.
Ia juga menyinggung adanya pesantren yang masih menggunakan kitab dengan muatan ajaran ekstrem.
“Para orang tua harus berhati-hati memilih pesantren untuk anaknya. Pesantren di luar naungan NU dan Muhammadiyah kadang masih mengajarkan ajaran tertutup yang bisa berujung radikal,” ujarnya mengingatkan.
H. Sohibul Wafa: Negara Tak Boleh Lengah
Sementara itu, H. Sohibul Wafa dari MUI Kota Bekasi menekankan pentingnya penegakan hukum yang kuat dalam pemberantasan terorisme.
“Adanya kelemahan hukum tidak boleh dijadikan alasan bagi aparat untuk tidak maksimal mencegah penyebaran paham teror,” tegasnya.
Ia juga mendorong pemerintah agar menerapkan sertifikasi kebangsaan dan keagamaan bagi para imam, khatib, ustaz, dan guru agama — termasuk pembina rohis di sekolah-sekolah.
“Langkah ini penting untuk memastikan para pengajar tidak menyebarkan paham ekstremisme di lembaga pendidikan,” tambahnya.
Membangun Kesadaran Kolektif Melawan Intoleransi
Pimpinan Ponpes Al-Fath Bekasi, Dr. Taufik, menutup kegiatan dengan pesan reflektif.
“Kita harus belajar dari negara-negara yang hancur akibat radikalisme, seperti Afganistan dan Irak. Jangan biarkan Indonesia mengalami nasib serupa,” ujarnya.
Kegiatan yang diinisiasi para alumni Al-Fath ini diharapkan dapat memperkuat kolaborasi ulama, tokoh masyarakat, dan aparat dalam membangun peradaban Indonesia yang damai, inklusif, dan berkeadilan.***
Penulis : Fathur Rachman
Editor : Pratigto





















