Lebak, Mevin.ID – Sebuah tradisi kuno yang telah mengakar selama berabad-abad kembali dilaksanakan dengan penuh khidmat di Kabupaten Lebak. Pada Jumat malam (2/5/2025), ribuan warga Badui Dalam dan Badui Luar berkumpul di Gedung Pendopo Pemerintah Kabupaten Lebak untuk menggelar upacara Seba, sebuah ritual sakral yang mempersembahkan hasil bumi sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan kepala daerah.
Di balik keramaian ini, terdapat pesan yang lebih dalam: kehidupan yang berkesinambungan antara manusia dan alam, serta penghargaan terhadap tradisi yang tidak lekang oleh waktu.
Kehidupan yang Terjaga dalam Tradisi
Para peserta upacara Seba mengenakan pakaian khas yang memancarkan identitas budaya mereka. Warga Badui Dalam dengan busana putih dan ikat kepala putih, sementara Badui Luar mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala biru—dua simbol identitas yang membedakan namun tetap menyatu dalam ritual yang sama.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami menjalani ritual Seba atas perintah leluhur. Ini adalah cara kami menjaga silaturahmi dan menyampaikan rasa syukur,” ungkap Jamal, Ketua Seba Masyarakat Badui.
Pada Seba Gede 2025, lebih dari 1.700 orang berpartisipasi, meningkat dibandingkan Seba Leutik tahun sebelumnya yang hanya diikuti 1.000 orang. Perayaan ini tidak hanya berkaitan dengan tradisi, tetapi juga dengan harapan besar akan masa depan yang lebih baik untuk tanah kelahiran mereka.
Berkah Alam yang Dibawa ke Pendopo
Penuh dengan hasil bumi yang melimpah, warga Badui membawa berbagai jenis persembahan, antara lain pisang, beras, tepung laksa, ja’at, iris, madu, dan gula aren. Setiap item membawa makna mendalam: buah dari kerja keras, berkat alam, dan tanda terima kasih atas kelimpahan yang diberikan selama setahun.
Ritual Seba ini bukan hanya sebuah acara adat, melainkan juga wujud dari filosofi kehidupan masyarakat Badui yang sangat menghormati alam dan keseimbangan dengan dunia luar. Tradisi ini diyakini telah berlangsung sejak Kesultanan Banten, dan bagi masyarakat Badui, meninggalkan Seba bisa mendatangkan malapetaka atau bencana alam.
“Kami berharap masyarakat dan pemimpin di Lebak selalu sehat dan sejahtera,” lanjut Jamal, menandakan harapan besar untuk masa depan yang lebih baik.
Antara Harapan dan Tantangan Infrastruktur
Namun, selain doa untuk kelimpahan, masyarakat Badui juga membawa harapan akan pembangunan, terutama dalam hal infrastruktur. Ruas jalan menuju wilayah Badui—sebuah kawasan yang kaya akan budaya dan alam, namun terisolasi—menjadi perhatian utama.
“Kami berharap pemimpin baru dapat memperbaiki jalan yang rusak dan meningkatkan akses menuju Badui. Kami ingin ekonomi kami tumbuh, tetapi itu semua dimulai dengan akses yang lebih baik,” kata Jamal.
Dukungan dari Pemerintah Daerah
Di tengah kesakralan upacara Seba, Wakil Bupati Lebak, Amir Hamzah, menegaskan komitmen pemerintah daerah untuk melestarikan tradisi ini. “Kami sangat menghargai dan melestarikan budaya masyarakat Badui dengan upacara Seba sebagai ikon kebudayaan Lebak,” katanya.
Melalui kolaborasi antara masyarakat Badui dan pemerintah, upacara ini bukan hanya tentang merayakan hasil bumi, tetapi juga tentang memperjuangkan hak masyarakat untuk hidup lebih baik di dunia yang terus berkembang.
Mewariskan Kearifan Lokal ke Masa Depan
Di balik iringan doa dan harapan yang menggema di Pendopo Pemkab Lebak, ada pelajaran penting yang terkandung dalam upacara Seba: nilai-nilai tradisi yang mengajarkan hidup berdampingan dengan alam, menjaga hubungan dengan sesama, dan tetap menjaga akar budaya di tengah globalisasi yang semakin kuat.
Pada akhirnya, Seba bukan sekadar upacara, tetapi sebuah ritual yang mengikat masa lalu, sekarang, dan masa depan. Sebuah tradisi yang meski bersumber dari tanah Badui, ternyata melintasi ruang dan waktu, menyentuh hati setiap orang yang menghargai keindahan budaya dan kekuatan tradisi.***