Jakarta, Mevin.ID — Rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengirim siswa-siswa yang dianggap “berperilaku menyimpang” ke barak militer memicu kritik tajam. MAARIF Institute menyebut kebijakan ini sebagai bentuk militerisasi dunia pendidikan yang keliru dan membahayakan.
Dalam pernyataan sikapnya, lembaga yang fokus pada kebudayaan dan kemanusiaan itu menilai bahwa model pembinaan berbasis militer tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan nasional, tetapi juga berpotensi melanggar hak-hak anak.
“Kebijakan ini menghapus ruang dialog dalam pendidikan dan menggantinya dengan intimidasi. Ini bukan pembinaan, melainkan represi,” kata Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari Tawuran hingga LGBT: Siapa yang Akan Dikirim ke Barak?
Menurut rencana yang sempat diterapkan di Purwakarta dan kini ingin diperluas ke Bandung serta Cianjur, para siswa yang terlibat tawuran, merokok, mabuk-mabukan, hingga memiliki orientasi seksual “yang terindikasi LGBT” akan dikirim ke barak militer untuk “dibina”.
MAARIF Institute menilai, kebijakan ini membuka ruang bagi stigmatisasi dan diskriminasi terhadap siswa, serta melanggengkan pendekatan kekuasaan dalam sistem pendidikan.
“Militerisasi pendidikan adalah bentuk kekerasan simbolik,” tulis mereka, merujuk pada teori Bourdieu & Passeron yang menyebut bahwa kekuasaan dapat ditanamkan secara tak kasat mata melalui sistem pendidikan yang represif.
Risiko Gangguan Psikologis dan Pelanggaran Konstitusi
Di tengah meningkatnya krisis kesehatan mental remaja, pendekatan berbasis hukuman justru memperbesar risiko trauma. Data WHO menyebutkan 14% anak dan remaja dunia menghadapi masalah psikologis, dan di Indonesia satu dari tiga remaja mengalami gangguan serupa.
Alih-alih memulihkan, pendekatan barak militer justru dikhawatirkan memperparah kondisi siswa secara mental dan sosial.
Tak hanya itu, kebijakan ini juga dinilai bertentangan dengan UU Perlindungan Anak dan Pasal 28I UUD 1945, yang menjamin perlakuan non-diskriminatif dan lingkungan yang aman bagi setiap anak.
Berlawanan dengan Arah Reformasi Pendidikan Nasional
Saat pemerintah pusat tengah mendorong pendidikan yang “mindful, meaningful, dan joyful”, kebijakan di Jawa Barat justru dinilai berjalan ke arah sebaliknya.
“Pendidikan yang bermutu bukan tentang hukuman fisik atau pemaksaan disiplin. Ia tumbuh dari dialog, empati, dan refleksi,” tegas MAARIF Institute.
Mereka juga menyoroti pelanggaran terhadap Permendikbudristek No.46 Tahun 2023 tentang pencegahan kekerasan di satuan pendidikan.
Masyarakat Diminta Menolak Normalisasi Kekerasan
Dalam pernyataan akhirnya, MAARIF Institute mendesak agar pemerintah daerah membatalkan rencana ini, dan mengajak masyarakat sipil, komunitas pendidik, hingga organisasi keagamaan progresif untuk bersuara menolak normalisasi kekerasan atas nama pembinaan moral.
“Kita harus berhenti menyalahkan siswa dan mulai mengevaluasi sistem. Ketimpangan sosial, kurikulum yang tak kontekstual, dan lemahnya hubungan guru-siswa adalah faktor yang perlu ditangani,” ujar MAARIF Institute.
Lembaga ini juga menyerukan agar Komnas HAM, KPAI, dan kementerian terkait turun tangan melakukan pemantauan dan asesmen terhadap kebijakan ini.
“Pendidikan sejati adalah yang memanusiakan manusia, bukan yang menundukkan dengan ketakutan.” — MAARIF Institute***