Bandung, Mevin.ID — Rencana pembongkaran Teras Cihampelas yang diusulkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mendapat penolakan dari warga dan pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut.
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan sebelumnya menyatakan tengah mengkaji usulan pembongkaran tersebut, mengingat kondisi kawasan yang dianggap tidak lagi optimal dan mengalami kerusakan.
Namun, sejumlah warga dan pedagang menilai pembongkaran bukan solusi. Mereka meminta agar Pemerintah Kota Bandung melakukan penataan ulang.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Buat apa dibongkar, sudah tanggung. Mendingan ditata lagi saja biar lebih nyaman,” kata Taufik Budi Santoso, warga Cimaung, Cihampelas.
Taufik mengakui kondisi Teras Cihampelas saat ini memprihatinkan akibat vandalisme, namun menurutnya perbaikan dan perawatan lebih layak dilakukan daripada membongkarnya.
Hal serupa disampaikan Dindin Wardiman, warga Setiabudi. Ia menilai Teras Cihampelas masih menjadi salah satu destinasi ikonik Kota Bandung, meski banyak fasilitas yang rusak.
“Sayang kalau dibongkar. Bangunan sudah ada, ngapain dibongkar? Tinggal ditata ulang saja,” ujarnya.
Sementara itu, Aan Suherman, pedagang nasi ayam di Teras 7, menyebutkan omzetnya bisa mencapai Rp 800 ribu hingga Rp 1,5 juta per hari. Ia menolak keras rencana pembongkaran karena akan memengaruhi mata pencahariannya.
“Kalau dibongkar, saya mau pindah ke mana? Langganan saya sudah tahu saya di sini,” kata Aan.
Irahayu, bendahara Koperasi Paguyuban Pedagang Teras Cihampelas, juga menyatakan bahwa jumlah pengunjung mulai meningkat. Ia menyarankan agar pemerintah fokus mempercantik dan memberikan daya tarik baru, bukan justru membongkar.
“Kalau dibongkar, sayang banget. Tempat sudah bagus, kenapa harus dibongkar?” ucapnya.
Saat ini, dari total 191 kios di Teras Cihampelas, hanya 32 pedagang yang masih bertahan. Banyak pedagang terpaksa berhenti berjualan sejak pandemi Covid-19 karena kehabisan modal.
Usulan pembongkaran Teras Cihampelas menjadi isu yang menuai pro dan kontra di tengah warga Kota Bandung, terutama di kalangan pelaku usaha mikro yang menggantungkan hidup dari aktivitas ekonomi di kawasan tersebut.***