Bekasi, Mevin.ID – Suasana di sekitar Masjid Raya Jatimulya, Tambun Selatan, mendadak memanas pada Rabu (7/5/2025). Sejumlah aparat dari Kelurahan Jatimulya dan Kecamatan Tambun Selatan datang dengan membawa alat ukur.
Tanpa pemberitahuan atau koordinasi sebelumnya, mereka langsung melakukan pengukuran lahan di sekitar masjid.
Rencana diam-diam itu membuat warga tersentak. Lahan seluas 8.000 meter persegi yang selama lebih dari tiga dekade digunakan warga sebagai ruang ibadah, pengajian, hingga pemotongan hewan kurban, tiba-tiba hendak diubah menjadi kantor kelurahan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami kaget. Tiba-tiba mereka datang seperti hendak menguasai lahan ini. Padahal di sini anak-anak belajar mengaji, umat berkumpul untuk Idul Adha, bahkan akan kami bangun sebagai Islamic Center Jatimulya,” ujar Haji Muhammad Mansur, Ketua DKM Jatimulya, sambil menunjukkan bukti video dan foto pengukuran tanah.
Surat DPRD Terungkap, Pembangunan Diminta Ditunda
Kontroversi ini mulai menemukan titik terang setelah munculnya surat rekomendasi dari DPRD Kabupaten Bekasi. Surat bernomor RT.04/30/DPRD/2025, tertanggal 13 Januari 2025, dan ditandatangani langsung oleh Ketua DPRD Ade Sukron SH.I MSi, ditujukan kepada Pj. Bupati Bekasi.
Isinya tegas:
- Pembangunan kantor Kelurahan Jatimulya harus dilakukan di atas lahan fasos/fasum dekat RW 16 yang strategis dan bukan di lokasi saat ini yang menjadi area kegiatan keagamaan.
- Pembangunan kantor yang sudah dianggarkan di DPA 2025 diminta untuk ditunda.
- Pihak kelurahan juga diminta untuk berkomunikasi aktif dengan masyarakat.
Namun, rekomendasi DPRD itu tampaknya diabaikan. Aparat tetap nekat datang ke lokasi yang selama ini dipandang sebagai “tanah umat.”
Konflik Hak & Aspirasi Umat
Bagi warga, lahan di Jalan Raya Jatimulya No. 1A bukan sekadar sebidang tanah kosong. Itu adalah simbol gotong royong, ruang ibadah kolektif, tempat anak-anak belajar mengaji, dan titik kumpul warga dalam berbagai perayaan keagamaan.
“Ini dzolim. Lahan umat jangan dirampas untuk birokrasi,” tegas Haji Mansur.
Warga menyebut bahwa lahan tersebut adalah bagian dari fasos dan fasum yang secara hukum merupakan hak kolektif penghuni Perumahan Jatimulya, bukan aset milik kelurahan. Karena itu, pengukuran sepihak dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap suara warga dan penghinaan terhadap nilai-nilai keagamaan.
Warga Bersiap Melawan
Kini, warga bersama pengurus masjid tengah menggalang dukungan sosial dan hukum. Mereka bersiap membawa kasus ini ke ranah yang lebih tinggi jika pemerintah tetap ngotot membangun kantor di lokasi yang selama ini menjadi pusat spiritual masyarakat Jatimulya.
Mereka tak menolak pembangunan kantor lurah. Tapi mereka ingin prosesnya adil, komunikatif, dan tak mengorbankan ruang ibadah yang sudah mengakar secara sosial dan budaya di lingkungan tersebut.
“Kami bukan anti pembangunan. Tapi jangan usik tempat kami bersujud,” pungkas seorang warga sambil menatap tanah yang kini menjadi arena tarik-menarik kepentingan antara umat dan birokrasi.***
Penulis : Pratigto