Bandung, Mevin.ID — Suara peluit, genderang, dan pekik massa memecah udara pagi di pusat kota. Ratusan orang yang menamakan diri Aliansi Bandung Melawan bergerak dalam barisan panjang dari kawasan menuju Balai Kota. Mereka menuntut satu hal: buka police line dan hormati sejarah kota ini.
“Bandung bukan milik oligarki!” teriak massa, diiringi kibaran spanduk dan poster yang menolak pengambilalihan lahan kebun binatang—sebuah ruang hijau bersejarah yang telah menjadi bagian dari denyut kota selama lebih dari sembilan dekade.
Sejarah Panjang yang Terancam
Dalam orasinya, perwakilan masyarakat sipil Asep Sanusi menegaskan bahwa kebun binatang ini bukan sekadar tempat wisata, melainkan warisan hidup yang dikelola oleh keluarga Ema Bratakoesoema dan sejak awal abad ke-20.
“Ini bukan sekadar lahan. Ini ruang publik, ruang edukasi, dan ruang sejarah warga Bandung,” ujarnya lantang.
Keberadaan police line di kawasan tersebut mereka anggap sebagai bentuk pembungkaman hak pengelolaan sah. Padahal, putusan sudah berkekuatan hukum tetap.
Hukum vs Kepentingan Modal
Aliansi menuding Pemkot Bandung dan terlalu lama menunda eksekusi putusan hukum.
Dalam pandangan mereka, penundaan ini membuka ruang bagi kepentingan oligarki yang ingin mengubah kawasan konservasi menjadi komoditas investasi.
“Pemerintah kota seharusnya berpihak pada keadilan dan keberlanjutan, bukan tunduk pada kepentingan modal,” tegas Mochamad Ilyas dari BEM Bandung.
Tuntutan Warga Kota
Dalam pernyataan sikapnya, Aliansi Bandung Melawan menyampaikan enam poin desakan:
- Pemkot harus mendengarkan aspirasi warga, bukan oligarki.
- Menghormati sejarah pengelolaan Bandung Zoo selama lebih dari 90 tahun.
- Membuka police line dan mengembalikan pengelolaan kepada pihak sah.
- Menjalankan putusan Mahkamah Agung tanpa penundaan.
- Mendesak melalui Dirjen KSDAE turun tangan sebagai mediator.
- Menetapkan kebijakan berbasis pelestarian lingkungan dan hak warga atas ruang hijau.

Lebih dari Sekadar Sengketa
Bagi para demonstran, perjuangan ini bukan hanya soal hak atas lahan, melainkan tentang siapa yang memiliki kota ini.
Tentang apakah ruang publik akan tetap menjadi milik rakyat atau digadai kepada kepentingan segelintir elit.
“Kebun Binatang Bandung harus dipulihkan sebagai ruang hijau publik, ruang belajar ekologis, dan ruang budaya rakyat,” seru seorang orator perempuan dari atas mobil komando.
Aliansi pun mengajak media untuk mengangkat krisis ini dengan perspektif ekologis, bukan sekadar konflik hukum biasa.
Di balik spanduk dan orasi, ini adalah cerita tentang warisan kota yang terancam dan pertarungan panjang antara suara rakyat dan kekuatan modal.
Sebuah pertanyaan menggantung di udara Bandung pagi itu: apakah kota ini masih milik warganya? ***
Penulis : Jihad Abd Mujahid
Editor : Bar Bernad





















